Dibayar dengan Senyum

By Sylvana Toemon, Jumat, 11 Mei 2018 | 08:00 WIB
Dibayar Dengan Senyuman (Sylvana Toemon)

Alhajir adalah pasar yang ramai di tengah kota. Banyak pedagang yang berjualan di sana. Di antaranya Tuan Dakhir yang menjajakan buah-buahan. Namun sayangnya, kedai buah Tuan Dakhir selalu sepi. Jarang dikunjungi pembeli. Sebab Tuan Dakhir dan istrinya sering melayani pembeli dengan kasar.

“Mana ada harga kurma semurah itu?” cibir Tuan Dakhir ketika ada pengunjung yang menawar.

“Jangan bandingkan dengan kedai lain, dong! Kalau begitu beli saja di kedai lain!” timpal sang isteri.

Suatu hari di siang terik, datanglah seorang bocah pengemis ke kedai Tuan Dakhir yang sepi. Tuan dan Nyonya Dakhir menghardik, “Kedai kami tidak melayani sumbangan! Pergilah jauh-jauh!”

“Maaf Tuan, Nyonya, saya tak bermaksud mengemis.”

“Lantas apa maumu?”

“Saya cuma mau meminta maaf,”

“Untuk apa?”

“Begini, Tuan, Nyonya,” pengemis kecil mulai bercerita. “Kemarin gerobak buah Tuan dan Nyonya melintas di depan saya. Tanpa sengaja saya melihat sebutir apel jatuh dari gerobak buah itu. Karena perut saya sangat lapar, saya pungut apel tersebut. Lalu saya makan. Tetapi malamnya saya tak bisa tidur. Saya merasa bersalah karena telah memakan makanan yang bukan menjadi hak saya. Saya ingin sekali membayar apel itu, tetapi saya tak punya uang sepeser pun!”

“Enak saja, kau harus membayarnya!” sungut Tuan Dakhir.

Sebentar bocah pengemis itu berpikir, “Baiklah, akan  saya bayar apel itu dengan senyuman,”

“Dengan senyuman? Apa kau sudah gila? Mana mungkin sebutir apel yang mahal dibayar dengan senyuman? Sudah sana, pergilah!” marah Nyonya Dakhir.