Dibayar dengan Senyum

By Sylvana Toemon, Jumat, 11 Mei 2018 | 08:00 WIB
Dibayar Dengan Senyuman (Sylvana Toemon)

Bocah pengemis itu tetap pada pendiriannya. Dia bersikeras hendak membayar apel tersebut. Akhirnya Tuan dan Nyonya Dakhir membiarkan anak itu duduk di sudut kios. Dia tersenyum ramah pada semua pengunjung yang melintas.

“Kenapa kau tersenyum, Nak?” tanya seorang ibu heran.

“Aku sedang menikmati hari yang cerah ini, Nyonya. Melihat matahari bersinar, pasar yang ramai, dan buah-buahan segar yang mengundang selera.”

Wanita itu tertegun. Kemudian menatap buah-buahan yang terpajang di kedai buah Tuan Dakhir.

“Hmm… betul juga, ya. Di siang terik seperti ini memang enak menyantap buah-buahan!” si Nyonya pun akhirnya membeli apel dan pir.

Bebarapa saat kemudian, kedai Tuan Dakhir ramai dikunjungi pembeli. Mereka tertarik pada senyum si bocah pengemis, lalu tak lupa membeli sekantung buah-buahan. Dagangan Tuan Dakhir pun laris. Tuan dan Nyonya Dakhir merasa heran.

Menjelang sore, Tuan dan Nyonya Dakhir bersiap menutup kiosnya. Si bocah pengemis pun siap berkemas pulang.

“Hei, tunggu!” tegur Tuan Dakhir.

“Ini sebutir apel untukmu, untuk membayar senyummu yang telah membuat daganganku laku!”

“Oh, tidak usah, Tuan! Apel itu akan habis kumakan. Karena itu, bayar saja dengan senyuman!” ujar si bocah pengemis sambil berlalu. Tuan dan Nyonya Dakhir saling berpandangan.

Sejak saat itu bocah pengemis tak pernah lagi menampakkan diri. Padahal Tuan dan Nyonya Dakhir merasa berhutang budi, mereka ingin sekali berterima kasih. Tetapi mereka selalu teringat pesan si bocah, “Bayar saja dengan senyuman!”

Akhirnya kini Tuan dan Nyonya Dakhir selalu tersenyum tulus dan ramah pada siapa saja. Kini kedainya banyak dikunjungi pembeli karena keramahan mereka.  

(Cerita: Dwi Pujiastuti / Arsip Bobo)