Tradisi Kure Menyambut Paskah di Daerah Noemuti Kote.

By Sigit Wahyu, Senin, 10 April 2017 | 11:30 WIB
Upacara mengambil air dalam tradisi kure. Sumber foto: kompas.com (Sigit Wahyu)

Jumat, 14 April 2017 merupakan hari libur nasional. Pada hari itu, umat Kristiani di seluruh dunia memperingati peristiwa rohani yang sangat penting, yaitu mengenang wafatnya Yesus Kristus atau Nabi Isa Al-Masih.

Bangkit dari wafat

Peringatan wafatnya Yesus Kristus, selalu jatuh pada hari Jumat. Khusus umat Kristiani beragama Katolik, mereka mengadakan misa yang disebut Jumat Agung. Malam berikutnya, mereka mengadakan misa lagi yang disebut Paskah.

Peringatan Paskah ini untuk mengenang kebangkitan Yesus Kristus dari kubur setelah wafat disalib. Umat Kristiani percaya bahwa Yesus Kristus hidup lagi setelah wafat, lalu setelah 40 hari diangkat ke surga.

Tradisi kure bagi Suku Kote

Bagi umat Kristiani pemangku adat di Kote, Kecamatan Noemuti, Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Paskah menjadi saat sangat penting untuk memperingati peristiwa berdirinya Gereja Katolik di daerahnya.

Seperti apa ya tradisi Kure ini dalam menyambut paskah?

Untuk menyambut Paskah, 18 pemangku suku adat di Noemuti Kote  selalu menyelenggarakan tradisi kure. Ke-18 suku adat tersebut adalah suku Salem, Meol, Neonbanu, Helo, Kosat, Silab, Mandosa, Meko, Oetkuni, Taesmuti, Menbam, Uskono, Vios, Woesala, Laot, Lopis, Nitjano, dan Manhitu.

Mengumpulkan hasil kebun

Tradisi kure diawali dengan kegiatan yang disebut bualoet. Kegiatan ini diadakan pada hari Rabu. Di sini, seluruh warga mengumpulkan hasil kebun, berupa sirih, pinang, tembakau, tebu, buah-buahan, sayuran, dan lainnya.

Usai mengumpulkan hasil kebun, para pemangku adat setiap suku melakukan kegiatan soet oe atau mengambil air dan batu pipih. Batu pipih ini untuk menghaluskan tebu yang digunakan untuk membersihkan patung.

Kemudian tetua adat melakukan kegiatan taniu usi neno. Yaitu, mencuci sarana keagamaan yang mereka miliki sebelum benda-benda sakral itu dipajang di ume mnasi  atau rumah induk suku-suku dalam prosesi kure.

Benda-benda sakral itu, seperti salib, patung Bunda Maria dan Yesus yang dibawa dari Portugis oleh para misionaris Katolik ke Noemuti pada abad ke-15. Benda-benda itu tidak saja memiliki nilai keagamaan, tetapi juga sejarah.

Kure, berdoa sambil mengunjungi keluarga

Pada hari Kamis, usai mengikuti misa Kamis Putih, mereka berkumpul di depan gereja untuk mengikuti acara kure. Kure  memiliki makna berdoa sambil mengunjungi keluarga.

Arak-arakan umat dan prosesi kure ini sangat unik. Dipimpin tetua adat dan pastor, mereka mengunjungi 18 rumah induk ume mnasi. Di setiap ume mnasi, mereka berdoa dan pastor mendekati ume usi neno  atau tempat khusus yang memajang benda-benda sakral untuk memercikkan air suci. Usai berdoa, mereka dijamu dengan hasil kebun yang telah disediakan.

Tradisi sef mau

Sesudah itu, pada hari Minggu Paskah, mereka  mengadakan tradisi sef mau. Dalam sef mau, mereka membongkar semua dekorasi, bunga, dan gapura yang dihias pada malam Paskah untuk dibuang ke sungai. Konon, makna dari tradisi sef mau ini adalah meninggalkan kehidupan lama untuk menjalani kehidupan yang baru.

Warisan budaya Noemuti Kote

Tradisi kure di Noemuti Kote adalah warisan budaya yang sangat unik dan menarik. Sayang sekali, pemerintah belum mempromosikan tradisi ini untuk menarik turis datang ke Noemuti.

Ayo, siapa tertarik mau ke sana? Noemuti terletak 180 kilometer sebelah timur kota Kupang atau 18 kilometer sebelum Kafemanu.