Sekilas ia sama saja dengan anak-anak perempuan lainnya. Rambutnya diekor kuda, kulitnya agak hitam, dan seragamnya pun tidak baru. Sadijah, pindahan dari sekolah di Desa Cipeteuy.
Ia masuk agak terlambat, diantar Kepala Sekolah. Ia duduk sendiri di bangku belakang baris keempat, satu-satunya bangku yang masih kosong.
Kadang-kadang anak-anak mencuri pandang bila ada kesempatan. Sadijah tampak serius mendengarkan pelajaran. Namun, ketika bel istirahat tiba, tiba-tiba ia menyalami anak yang duduk di depannya.
"Kenalkan, aku Sadijah. Namamu siapa?" tanyanya. Satu per satu anak disalami.
Ia mengamati kawan barunya sambil mencoba menghafal namanya.
Akhirnya ia menyalami Mirta dan Tino, yang terakhir keluar dari kelas.
"Tino!" Terdengar suara Tino ketika mereka bersalaman.
"Tino, sang detektif!" tambah Mirta.
"Ah, jangan percaya. Mirta memang pandai mengarang!" kata Tino. Namun mata Sadijah tiba-tiba berbinar-binar.
"Detektif? Waah, kita ini sama, Io. Aku juga dijuluki detektif oleh kawan-kawan di desaku," kata Sadijah.
Mirta dan Tino terbelalak, dan kemudian tertawa.
"Kalau begitu mari kita dengarkan pengalaman detektif wanita kita," ajak Mirta dengan bersemangat. Dan beberapa saat kemudian anak-anak sudah merubungi Sadijah seperti semut merubungi gula.