"Lainnya adalah kasus ketika adikku disuruh menjaga kambing-kambing pamanku yang akan dibawa ke kota," kata Sadijah.
"Ah, tadi kasus domba, sekarang kambing. Memang tak ada yang lain, kok kasus hewan melulu?" tanya Dewi.
Anak-anak tertawa. Namun Sadijah tidak marah.
"Kalau kalian tak mau dengar, ya sudah," kata Sadijah. "Aku juga mau mendengar cerita Tino."
"Mau, mau! Ceritakanlah!" kata beberapa anak.
"Singkat saja, ya. Sebentar lagi kan pasti bel masuk berbunyi. Begini, adikku disuruh menjaga sepuluh ekor kambing yang ditambatkan di pohon oleh pamanku. Ternyata adikku pergi bermain layang-layang. Tiga jam kemudian Paman datang, adikku memang ada di sana. Lalu ia minta uang pada Paman. Paman tak mau memberi. Paman bilang adikku itu tidak terus menerus menjaga kambing. Adikku bilang ia terus menerus menjaga di dekat kambing itu," kata Saijah.
"Lalu kamu disuruh menjadi hakim, begitu bukan?" tanya Tino.
"Ya, betul. Tahukah kamu bagaimana membuktikan kebohongan adikku?"
Sadijah bertanya. Ia memandang para pendengarnya. Anak-anak melemparkan pandangan ke arah Tino dan Agus. Tapi, kedua anak laki-laki itu hanya menggelengkan kepala.
"Caranya mudah saja. Aku mengatakan pada adikku, 'Memet, kalau kamu jaga di dekat kambing itu tiga jam lamanya, pasti baju dan tubuhmu bau kambing. Tapi kamu malah bau keringat dan terik matahari.' Dan adikku mengaku bahwa dia pergi bermain layang-layang," demikian cerita Sadijah.
Anak-anak tertawa riuh. Bel masuk berbunyi. Sekarang bertambah lagi seorang anak yang gemar memecahkan masalah di kelas mereka.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna