Sebenarnya aku menyayangi Dini, adikku satu-satunya. Namun entah kenapa, hampir setiap hari aku marah padanya. Sungguh, aku tak membenci Dini, cuma aku selalu tak mampu menahan kejengkelanku.
Bila kuingat-ingat kelakuanku, aku bukanlah seorang kakak yang baik bagi Dini. Betapa tidak, aku telah membuatnya menjadi anak yang selalu muram, rendah diri, dan ketakutan. Begitu banyak kesalahanku padanya. Aku menyesalinya, karena di dalam hati sungguh-sungguh aku mengasihi adikku itu.
Suatu hari, Dini berlari-lari kecil menyongsongku yang baru pulang sekolah. Siang itu ia masih mengenakan baju seragamnya. Biasanya ia pulang sekolah lima belas menit lebih awal dariku.
"Dini baru saja sampai. Pulang sekolah tadi, Dini tidak langsung ke rumah," katanya menjelaskan. Tak seperti biasanya, ia membuntutiku sampai ke kamar.
"Dini ke toko Enam Delapan," katanya lagi sambil mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Beli coklat."
Amboi! Mataku terbelalak melihat sebatang permen coklat yang diacungkan Dini.
"Di mana dapat ini?" Kurampas coklat itu. Hatiku penuh prasangka.
"Beli, dong!"
"lya ... ya ... sudah tahu!" Aku menjadi tak sabaran. "Tapi uangnya dari mana?"
"Dari tabungan Dini," jawabnya.
"Oh ya, tabungan Dini begitu banyak sampai mampu beli coklat mahal begini?" Aku mengacungkan coklat itu ke wajahnya.
Wajah mungil anak kelas tiga SD itu kebingungan.