Di meja bertumpuk buku-buku mengenai kue dan album berisi foto bermacam-macam kue dan roti. Diam-diam Mia mengagumi keberhasilan Tante Ning.
Ibu dan Mia segera disuguhi puding tahu, yang ternyata terbuat dari agar-agar, hanya diberi susu sehingga bentuknya mirip tahu. Juga dihiasi dengan buah kaleng yang berwarna-wami.
"Mia masih suka bantu Ibu memasak dan membuat kue?" tanya Tante Ning.
"Ya, Tante!" jawab Mia. "Habis Mia tidak seperti Kak Iwan dan Kak Susi. IQ Mia IQ jongkok, cuma 103. Kalau pintar seperti Kak Susi, mungkin Mia tidak senang memasak!"
Tante Ning maklum. Sebelumnya Ibu memang sudah meneleponnya.
"Ah, ibumu pandai, tapi kan senang memasak dan membuat kue. Kalau Tante Ning, IQ-nya memang cuma 101. Tapi Tante Ning tidak kecewa. Tuhan memberikan kelebihan-kelebihan yang berbeda pada setiap orang," kata Tante Ning.
Minat Mia bangkit. Setahu Mia, Tante Ning adalah orang hebat. Ia pengusaha kue yang cukup terkenal. la sering mendapat pesanan membuat kue ulang tahun, kue pengantin ataupun roti. Bahkan ia sering ikut dalam pameran-pameran kue. Dan ia sudah pergi ke beberapa negara untuk mengikuti kursus kue atau roti.
"Tante Ning cuma bergurau untuk menghibur Mia!" kata Mia.
"Eh, tidak, ini serius Iho. Malah Tante Ning pernah tidak naik kelas waktu SMP kelas satu. Habis kalau malam menghafal pelajaran, esok paginya kok hampir semuanya lupa lagi. Akhirnya Tante Ning cuma sekolah sampai SMP. Tapi Tante Ning senang membuat kue dan memasak. Jadi Tante Ning ikut kursus dan kemudian mulai terima pesanan kue. Lama-lama jadi maju dan ya, seperti yang sekarang Mia lihat," demikian cerita Tante Ning.
"Ya, orang yang IQ-nya tinggi juga belum tentu berhasil. Buktinya Taufik, kawan sekelas kami. IQ-nya 140. Tapi kemudian ia menggelapkan uang perusahaan dan akhirnya masuk penjara," tambah Ibu.
"Masih lebih baik, si Bea. Walaupun dulu ulangannya dapat bebek melulu, tapi kemauannya keras. Sekarang dia menjadi notaris," kata Tante Ning.
Mia tersenyum dan bertanya, "Angka bebek itu berapa, sih, Bu?"