Mama Berhati Emas

By Sylvana Toemon, Jumat, 18 Mei 2018 | 10:00 WIB
Mama Berhati Emas (Sylvana Toemon)

Kadang Sinta suka berangan-angan. Alangkah menyenangkan bila punya mama seperti mama Ranti. Selalu rapi, bersepatu hak tinggi, dan bekerja di kantor. Langsing, rambutnya sebahu, berombak rapi… Atau seperti Tante Elsa, mama Inge yang bekerja di salon. Ia selalu tampil modis. Pakaian dan make-up-nya serasi. Jemarinya indah dengan cat kuku yang berganti-ganti warna sesuai bajunya.

Pokoknya kedua mama teman Sinta bagaikan ibu-ibu dalam sinetron. Kalau mama Sinta, boro-boro pakai cat kuku. Sehari-hari memakai celana panjang dan kemeja. Tubuhnya gemuk pendek, dan rambutnya dipotong seperti laki-laki. Pagi-pagi ia naik sepeda ke pasar untuk membuka kios buah. Mama berdagang apel, jeruk, atau anggur. Kalau musim duku, ya, berjualan duku juga. Mama pakai lipstik dan rok hanya bila pergi ke pesta.

Sebaliknya papa Sinta selalu berkemeja lengan panjang, berdasi, dan mengendarai mobil dinas. Dalam hati kadang Sinta heran. Kok, Papa mau menikah dengan Mama? Bahkan sangat menyayangi Mama. Tiap pulang kerja Papa selalu menanyakan Mama.

Hari ini Sinta pulang sekolah lebih cepat karena ada rapat guru. Tapi Sinta malas pulang, karena di rumah hanya ada Pak Usin, tukang yang sedang memperbaiki dapur.

“Lebih baik aku ke pasar saja, ke kios Mama!” pikir Sinta.

Sinta jarang datang ke kios Mama. Kalau Sinta pulang sekolah, biasanya kios sudah tutup dan Mama pun sudah ada di rumah.

Turun dari bus, Sinta masuk ke lorong pasar. Pasar mulai sepi. Pedagang-pedagang mulai mengantuk. Mama sedang memasukkan apel ke dalam dus. Di depan kios Mama ada pedagang pisang. Seorang anak laki-laki duduk dekat kios pisang sambil menggendong kotak semir sepatu. Pakaiannya kumal, kulitnya hitam.

”Ma, Sinta pulang cepat. Guru-guru rapat!” kata Sinta.

“Kalau begitu kita bisa pulang sama-sama!” kata Mama. “Tunggu sebentar, Mama beres-beres dulu!”

“Ma, anaknya, ya? Kenalin, dong!” Tiba-tiba si penyemir sepatu bangkit dan mendekati kios Mama.

“Sinta, ini Ujang. Ayo, kalian salaman!” kata Mama.

Dengan segan Sinta mengulurkan tangannya. Dalam hati Sinta kurang senang. Apa-apaan si Ujang ini? Panggil mama Sinta seenaknya. Mama? Mama siapa?