“Pak Usin masih memperbaiki dapur. Mama tidak memasak hari ini. Kita makan ayam goreng saja, ya, di depan sana!” kata Mama.
Sinta mengangguk. Hatinya kembali senang, membayangkan ayam goreng, kentang goreng, puding.
“Ma, anaknya cantik. Asyik benar, nih, makan ayam goreng!” komentar si Ujang. Mama tertawa.
“Terima kasih. Ujang juga cakep. Ayo, ikut saja sekalian makan!” kata Mama. Sinta melihat mata Ujang berbinar-binar dan wajahnya berseri-seri.
“Benar, nih, Ma. Boleh ajak si Dudung?” tanya Ujang penuh harap.
“Ya, ya, lekas ajak ke sini. Kalau terlambat, ditinggal, lo!” kata Mama.
Bagaikan anak panah lepas dari busurnya Ujang berlari, meninggalkan kotak semir sepatunya di lantai kios tukang pisang.
“Ma, kok, anak itu panggil Mama, bukan Ibu atau Tante?” bisik Sinta heran.
“Biar saja. Ibunya ada di kampung. Tukang sayur, tukang ikan juga sering panggil Mama. Apalah artinya panggilan!” jawab Mama.
“Ma, tidak malu bawa anak kumal ke restoran?” tanya Sinta lagi. Ia cemas kalau-kalau bertemu teman di restoran. Mama tersenyum dan menggeleng.
“Sinta, anak-anak itu juga manusia seperti kita. Cuma, mereka kurang beruntung. Lihatlah, betapa senang wajah Ujang karena diajak makan di restoran. Biarlah sekali-sekali kita memberi sedikit kebahagiaan pada dia!” kata Mama.
Tepat ketika Mama mengunci kios dan mengeluarkan sepedanya, Ujang dan Dudung datang. Sinta menutup hidung karena kedua anak laki-laki itu bau terik matahari. Dudung memegang tamborin. Rupanya ia seorang pengamen.