Satu Arah dan Dua Arah

By Sylvana Toemon, Selasa, 17 April 2018 | 02:00 WIB
Satu Arah Dua Arah (Sylvana Toemon)

Bel ganti pelajaran berbunyi. Pak Iwan, guru matematika, meninggalkan kelas.

“Syukur, filmnya ganti!” kata Badu. Anak-anak tertawa kecil.

“Kok Pak Awang belum kelihatan. Jangan-jangan beliau tidak datang!” kata Lala dengan nada kuatir.

“Kangen, nih yeeee!” goda Badu. Lala yang duduk di belakang Badu menepuk punggung kawannya yang gemuk itu dengan penggaris.

“Aduuuh, aduuuuh, jangan main penggaris, dong! Itu curang namanya!” protes Badu sambil menengok ke belakang. Anak-anak tertawa geli.

“Selamat siang, anak-anak!” suara berat Pak Awang menggema ketika guru bahasa Indonesia, guru favorit mereka memasuki ruangan.

“Selamat siaaang, Paaak!” sambut anak-anak.

“Hari ini belajar apa, Pak? Buku 5A sudah selesai!” Erika mengingatkan. Pak Awang tersenyum.

“Belajar apa, ya, enaknya? Mungkin sebaiknya kita mengadakan ulangan tiba-tiba!” kata Pak Awang. Ia membuka tasnya dan mengeluarkan setumpuk kertas putih polos.

“Jangan, dong, Pak! Masak, sih, Bapak tega memberikan ulangan tiba-tiba?” protes Yayuk.

“Masak tempe atau sayur asem, Yuk?” goda Badu. Yayuk selalu menyebut masa dengan “masak”. Anak-anak tertawa.

“Tak mungkin ulangan. Di tangan Pak Awang itu, kan, kertas gambar!” Lina mengemukakan pendapat.