Tak Kenal, Maka Tak Sayang

By Sylvana Toemon, Rabu, 16 Mei 2018 | 02:00 WIB
Tak Kenal Maka Tak Sayang (Sylvana Toemon)

Tak kenal, maka tak sayang. Aku sudah hafal peribahasa itu. Namun baru hari ini, aku paham maknanya.

Sungguh menyenangkan kembali ke Jakarta, setelah dua hari berlibur di Puncak, di villa Mirna. Kini aku berada kembali di kamar sendiri dengan bantal kesayanganku. Malam ini, sambil berbaring aku mengenang pengalaman selama dua hari di Puncak...

Mulanya kukira kami akan pergi berempat. Aku, Lia, Titi, dan Mirna. Kami, kan, empat sekawan. Tapi, rupanya ibu Mirna menyuruh Mirna mengajak Eni, si kutu buku. Maklumlah, ibu Eni dan ibu Mirna kawan akrab semasa kuliah dulu.

“Wah, lima orang, jumlahnya ganjil. Nanti tidurnya bagaimana?” tanya Titi.

“Ah, mudah. Kau, Lia, dan Rika sekamar. Aku dengan Eni,” jawab Mirna.

Begitulah, dengan diantar sopir ayah Mirna, kami berangkat. Di mobil, Eni duduk di muka, sedang kami berempat di belakang.

Sementara kami sibuk berceloteh, Eni diam-diam saja. Tampaknya ia menikmati pemandangan di sepanjang jalan. Setiba di villa, kami disambut Pak Musa, penjaga villa.

“Maaf, Neng. Istri Pak Musa sedang sakit. Kalau nanti malam Neng mau beli makanan di restoran, Pak Musa bisa belikan!” kata Pak Musa.

“Waaah, gawat!” kata Mirna. Ia mengerutkan kening. Tiba-tiba Eni berkata, “Tak usah beli makanan di restoran. Ibu membekaliku bahan makanan. Aku akan masak nasi dan sambal kornet. Juga akan menggoreng emping. Lalapnya tolong ambilkan di kebun, ya Pak Musa!”

“Baik, Neng. Alat-alat masak ada. Beras juga ada. Bumbu dapur juga lengkap di lemari!” ujar Pak Musa.

Kami masuk ke dalam villa. Eni mencuci beras, memasak nasi. Mirna mengulek cabai dan bawang. Titi memasak air di teko. Lia membuka kaleng korned. Aku hanya menonton dan merasa bodoh sekali. Selama ini, semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Ibu dan Mbok Sinah. Ternyata kawan-kawanku trampil membantu ibunya di rumah.

“Kalau mau cepat, Rika bisa menggoreng emping!” kata Mirna.