Tak Kenal, Maka Tak Sayang

By Sylvana Toemon, Rabu, 16 Mei 2018 | 02:00 WIB
Tak Kenal Maka Tak Sayang (Sylvana Toemon)

Ketika kami masih asyik bermain ludo, tiba-tiba reeep…lampu mati.

“Aduuuuh, gelap banget, aku tak bisa melihat tanganku sendiri!” keluh Titi.

“Tak usah dilihat, diam-diam saja dulu!” kata Lia. Bulu kudukku merinding.  Bagaimana kalau lampu padam sampai pagi? Tiba-tiba saja cahaya senter muncul dari arah tempat Eni duduk.

“Kalian tenang-tenang saja. Aku akan nyalakan lilin!” Kata Eni.

“Kamu bawa lilin, Ni? Hebat!” puji Mirna.

“Tidak, kok. Kan, di laci dapur ada. Waktu kita ke sini beberapa bulan lalu, kan, mati lampu. Waktu itu aku membantu ibumu menyalakan lilin-lilin. Jadi aku sudah tahu tempatnya!” Eni menjelaskan. “Tadi aku memang sudah sedia senter. Di sini, kan, sering mati lampu, kata Pak Musa!”

“Aku tidak tahu di mana Ibu biasanya menyimpan lilin!” Mirna mengakui.

Tak lama kemudian lilin-lilin sudah dinyalakan. Kami sudah tidak berminat bermain ludo lagi. Jadi kami berkumpul di kamar dan bercerita.

Tak lama kemudian lampu menyala, tetapi kami sudah mengantuk, jadi kami tidur saja. Esok paginya, ketika aku bangun, ternyata Eni sudah ada di dapur.

“Kita akan sarapan dengan nasi goreng ikan asin!” kata Eni. “Aku sudah masak  air panas. Ada di termos. Silakan kalau mau membuat susu atau teh!”

“Ya, aku akan buatkan teh manis untuk kita semua. Hanya ini yang aku bisa!” kataku. “Kamu pintar sekali memasak!”

“Ah, tidak juga. Aku masih belajar masak, kok, sama Mama. Kita bisa melakukan apa saja kalau kita mau belajar!” kata Eni.

Dalam hati aku mencatat kata-katanya. Benar, selama ini aku tidak belajar melakukan tugas-tugas rumah tangga.

Pagi itu Ibu Musa datang. Ia sudah sembuh. Jadi kami bisa bersenang-senang tanpa memikirkan urusan makan. Kemudian kami berjalan-jalan di kebun teh. Kami berempat berceloteh. Eni diam saja.

Hanya sesekali ia mengingatkan kami agar hati-hati bila ada kotoran kuda atau jalan yang sulit ditempuh. Kami gembira dan ia juga gembira. Ketika kembali ke villa, siangnya kami bermain kwartet. Eni asyik membaca buku.…

Sebelum tidur, sesudah mengenang pengalaman itu aku bertekad untuk membantu Ibu dan Mbok Isah dalam mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Aku juga akan menerima setiap orang sebagaimana adanya. Eni tak perlu bawel seperti kami berempat. Namun Eni tetap kawan kami, tak perlu ditolak atau dijauhi.

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna