Usahawan Cilik

By Sylvana Toemon, Selasa, 24 April 2018 | 05:00 WIB
Usahawan Cilik (Sylvana Toemon)

Dua minggu setelah Udin membeli lilin, datanglah kesempatan yang ditunggu-tungu. Menjelang maghrib lampu padam. Dengan tangkas Udin mengeluarkan sepeda. Umang dibonceng di belakang sambil memeluk tas plastik. Tak lupa ia membawa senter.

Kali ini Udin berhasil. Banyak orang membeli lilin. Bahkan dalam waktu satu jam lebih 40 pak lilin itu habis terjual.

Mereka kembali ke rumah dengan gembira.

"Mana lilinnya? Ibu beli satu pak!" kata Ibu.

"Wah, sudah habis. Aku tidak ingat di rumah kita juga perlu lilin," jawab Udin.

"Tidak apa, lain kali tawarkan dulu pada Ibu sebelum pergi berjualan!" pesan Ayah. Semua tertawa.

Untunglah tak lama kemudian listrik menyala. Jadi dengan gembira Udin bisa menghitung uang hasil penjualannya dan berapa untungnya. Lalu mencatatnya di sebuah notes. Tak lupa diberikannya sebagian keuntungan pada adiknya, Umang.

"Besok kita jualan lilin lagi, Bang? Enak, laku banyak," kata Umang.

Udin tertawa dan berkata, "Tidak, Mang. Besok kakak beli lilin lagi untuk persediaan. Orang-orang yang mau beli bisa datang ke rumah kita. Nanti pada waktu lampu mati lagi baru kita keliling jualan lilin. Dan, kita harus ingat, kalau berjualan harus tawarkan pada Ibu dulu! Dan harus tinggalkan sebagian di rumah. Mungkin ada orang yang datang ke sini untuk beli lilin."

"Sekarang, aku mau mencatat nama-nama dan alamat mereka yang tadi membeli lilin. Kalau mati lampu lagi, mungkin kita akan jalan di kawasan lain di kompleks perumahan kita. Sebab mereka yang tadi beli mungkin masih punya persediaan. Habis tadi mati lampunya, kan, tidak lama!" sambung Udin.

"Wah, Udin sekarang sudah pandai berdagang. Sudah jadi usahawan cilik!" puji Ayah. "Tapi jangan lupa belajar, ya Din."

"Pasti, Yah. Walaupun berdagang, rangking di kelas tetap harus dikejar!" jawab Udin gembira. 

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna.