Tumpeng untuk Nenek Sumirah

By Sylvana Toemon, Kamis, 26 April 2018 | 02:00 WIB
Tumpeng Nenek Sumirah (Sylvana Toemon)

Pagi itu Nina dibangunkan oleh harum masakan 17 Agustus, hari kemerdekaan. Wow, senangnya. Di taman di kompleks perumahan sudah dipasang awning dan bangku-bangku. Juga hiasan bendera merah putih.

"Nanti aku akan ikut lomba makan kerupuk dan lomba memasukkan benang ke jarum. Lomba tangkap belut aku tak mau!" pikir Nina.

Terbayang di matanya belut-belut yang menggeliat di tanah dan anak-anak bergegas menangkapnya. Tapi, iiih, Nina tak sanggup memegang belut-belut itu.

Nina melompat bangun, lalu bergegas ke kamar mandi. Ia melewati dapur. Ibu sedang mengulek kentang dan Mbok Inten mengiris tempe. Harum rendang yang sedang dimasak sungguh menggugah selera. Di meja makan ada dua buah tampah besar dan sebuah tampah kecil.

"Wow, kok, tumpengnya ada anaknya, Bu!" Nina menunjuk tampah kecil.

"lya, Ibu mau bikin tumpeng kecil, untuk Nek Sumirah!" kata Ibu.

"Kok, Nek Sumirah dibuatkan tumpeng? Memangnya ulang tahunnya sama dengan HUT Proklamasi?" tanya Nina heran. Nek Sumirah adalah tetangga Nina. Usianya sudah 70 tahunan.

la tinggal dengan anaknya yang sudah menjanda dan tiga orang cucunya. Anaknya berjualan nasi uduk di depan rumah dan sehari-hari Nek Suminten membantunya. Ya, kadang-kadang ada juga, sih, yang bertanya soal kesehatan pada Nek Sumirah. Maklum, konon Nek Sumirah itu mantan perawat.

"Bukan ulang tahun. Tapi, diam-diam Nek Sumirah itu rupanya seorang pejuang kemerdekaan. Sudahlah, mandi dulu. Nanti Ibu ceritakan!" kata Ibu.

Di kamar mandi, rasa ingin tahu Nina memuncak. Apa benar Nek Sumirah itu pejuang? Kok, selama ini tak ada yang tahu?

Mengapa selama bertahun- tahun tak ada yang berbicara tentang soal itu? Aneh juga. Setelah mandi dan berdandan rapi, Nina menagih janji Ibu. Sambil menikmati nasi uduk, Nina mendengar ibunya bercerita.

"Begini, waktu zaman perjuangan kemerdekaan, Nek Sumirah itu baru berumur 17 tahun. la merawat pejuang-pejuang kita yang terluka dalam pertempuran. Salah seorang prajurit yang terluka adalah Bapak Ahmadi. Cukup lama Nek Sumirah merawat Bapak Ahmadi. Kemudian mereka berpisah karena Bapak Ahmadi pindah tugas ke daerah lain. Mula-mula mereka sering berkirim surat. Namun akhirnya mereka kehilangan kontak. Setelah negara kita merdeka, Nek Sumirah masuk sekolah perawat. Akhirnya ia bekerja di rumah sakit sampai pensiun!"