Buku Harian Sinta

By Putri Puspita, Sabtu, 27 Mei 2017 | 10:00 WIB
Buku Harian Sinta. Foto: Putri Puspita | Bobo.ID (Putri Puspita)

Hari Jumat adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh Sinta. Artinya Bapak akan pulang dan bisa makan bersama lagi berempat, dengan Ibu dan adik. Bapak bekerja di Denpasar, sedangkan Sinta dan keluarga lainnya tinggal di Singaraja, butuh sekitar 3-4 jam perjalanan.

Sinta tidak sabar bercerita pada Bapak tentang ulangan matematika yang sangat susah di sekolah. Bapak yang bekerja sebagai guru pasti akan membantu Sinta belajar, begitulah pikir Sinta.

“Bu, ayo kita masak makan malam. Nanti sore pasti Ayah sudah sampai di rumah seperti biasa,” kata Sinta bersemangat. Tidak seperti biasanya, Ibu diam dan tersenyum saja. Setiap Jumat pagi, Ibu biasanya akan membeli bahan makanan yang lebih banyak dari biasanya di Pasar Banyuasri, Singaraja, tetapi Sinta tak melihatnya di dapur.

“Ibu kenapa?” tanya Sinta.

“Sin, sepertinya Bapak belum bisa pulang hari ini,” kata Ibu dengan raut wajah sedih.

“Kenapa Bu?” mata Sinta sudah berkaca-kaca.

“Kata Bapak, ada pekerjaan yang harus diselesaikan,” jawab Ibu.

“Berarti hari Sabtu Bapak pulang?” tanya Sinta.

“Bapak baru bisa pulang Jumat minggu depan Sin,” jawab Ibu.

Sinta tidak dapat menahan tangis. Ia mengusap air matanya. Ibu segera memeluk Sinta.

“Sinta kangen sama Bapak Bu,” kata Sinta.

“Ibu juga, kita bisa telepon Bapak yah Sin. Sabar nggih gek (panggilan untuk perempuan),” kata Ibu.

Sinta merasa sangat sedih hari ini. Ia duduk di meja belajar dan mengambil buku harian kesayangannya. Sinta menulis semua kesedihannya karena Bapak tak bisa pulang. Tanpa sepengetahuan Sinta, Ibu mengintip dari celah pintu yang terbuka.

“Sin, kita makan yuk! Habis itu kita telepon Ayah,” kata Ibu.

Sinta berdiri dan mengikuti Ibu ke dapur. Sepanjang makan malam, Sinta hanya diam saja. Ia masih bersedih karena Bapak tidak bisa pulang.

“Bu, apa Bapak tidak sayang Sinta ya?” kata Sinta.

“Kenapa Sinta bertanya begitu?” kata Ibu.

“Bapak memilih bekerja daripada ketemu Sinta. Kan Sinta kangen,” jawab Sinta.

“Bapak bekerja supaya Sinta bisa terus sekolah. Bapak mau Sinta jadi anak hebat. Jadi artinya…,”kata Ibu.

“Bapak sayang Sinta,” jawab Sinta.

Malam itu Sinta kembali menulis di buku hariannya, sahabat Sinta bila merasa sendirian. Buku harian itu dibelikan oleh Bapak dan boleh dibaca Ibu dan Bapak jika sudah minta izin Sinta.

Sampailah di hari Minggu. Sinta sudah lupa akan rasa sedihnya, ia asik bermain masak-masakan bersama Arya, adik kecilnya. Ada motor yang masuk ke rumah. Sinta mengenali suara motor itu.

“Bapaaaaaakkkk,” teriak Sinta sambil berlari ke serambi rumah.

“Waaah anak Bapak semangat sekali,” kata Bapak sambil memeluk Sinta.

“Bapak pulang? Kata Ibu baru pulang minggu depan,” tanya Sinta.

“Iya Sin, Bapak sayang Sinta, jadi Bapak pulang. Kan begitu harapan Sinta di buku harian. Yah, walaupun besok pagi-pagi Bapak harus mengajar ke Denpasar lagi,” jawab Bapak.

“Kok Bapak tahu Sinta tulis harapan itu,” tanya Sinta kaget.

“Tahu dong, kan kita sehati,” kata Bapak.

Sinta sangat senang Bapak pulang ke rumah. Ia langsung bercerita banyak kepada Bapak tentang sekolah, teman-teman, dan cita-cita. Seperti biasa, Bapak juga selalu punya cerita yang seru.

“Ini nih Bapak punya hadiah untuk Sinta,” kata Bapak.

“Apa itu?”

“Botol miniman baru,” kata Bapak sambil mengeluarkan botol kaca dengan tutup yang sangat lucu.

“Waaah, Bapak kok tahu Sinta ingin punya botol minum model ini,” tanya Sinta.

“Kita kan sehati, jadi apa pun harapan yang Sinta tulis di buku harian, akan sampai ke Bapak,” jawab Bapak bangga.

Sinta pun tertawa riang. Ia sangat senang karena Bapak pulang walaupun sebentar. Ia juga akan menulis semua yang ia harapkan karena pasti akan terwujud.