Kisah Seorang Pemahat

By Sylvana Toemon, Sabtu, 14 April 2018 | 05:00 WIB
Kisah seorang pemahat (Sylvana Toemon)

Ada seorang pemahat bernama Kinta. Kinta adalah pemuda yang rajin. Dari pagi hingga sore ia belajar memahat. Gurunya adalah ayahnya sendiri. Suatu hari ayah Kinta memanggilnya.

"Ada apa, Ayah?" tanya Kinta.

“Kinta, Ayah sudah tua. Mata Ayah sudah tidak awas lagi. Ayah sudah tidak bisa memahat lagi. Karena membuat patung adalah pekerjaan kita, mulai besok kaulah yang meneruskan usaha Ayah. Engkau sudah mendapat banyak pelajaran selama ini. Hasil pahatanmu pun bagus, lebih bagus dari buatan Ayah. Nah, Kinta. Engkau sanggup, bukan?"

"Ya, Ayah," sahut Kinta patuh.

Maka Kinta bekerja lebih keras dan lebih teliti. Patung demi patung ia hasilkan. Kinta terus berpikir, mencari bentuk baru untuk patungnya. Ada patung manusia, patung binatang, tanaman dan banyak lagi. Pahatan-pahatannya begitu halus hingga Kinta merasa puas.

Lalu Kinta meneliti sekeliling tempat kerjanya. Begitu berantakan.

"Kalau dibiarkan begini para pembeli akan segan datang," gumamnya.

Lalu Kinta membersihkan tokonya. la mulai menata kerajinan patung itu dalam rak-rak. Lalu ia membenahi tokonya dengan hiasan. Di depan tokonya terpampang papan bertuliskan: Cendera mata Kinta

Kinta mengamati hasil kerjanya dengan gembira.

"Mudah-mudahan banyak pembeli yang datang," katanya.

Betul juga, semenjak toko Kinta dipugar, banyak penggemar cendera mata datang. Mereka kagum akan karya-karya Kinta. Mereka pun tidak segan-segan membelinya. Hasil pahatan Kinta laku keras. Kinta bekerja semakin keras. Akhirnya ia menyadari, tak mungkin bekerja sendiri. Sementara permintaan pahatannya makin bertambah.

Kinta lalu mencari orang untuk membantunya. Orang itu pun bisa memahat, tetapi tak sebagus Kinta. Kinta tak peduli. la dan pembantunya terus memproduksi patung. Sehingga tokonya terisi kembali. Tetapi, apa yang terjadi? Calon pembeli menggeleng-gelengkan kepala melihat karya-karya itu. Tampaknya mereka kecewa.