Sejak naik kelas 3 SD, Nina tak lagi bisa membonceng motor Ayah. Itu karena Nina masuk siang dan Ayah harus berangkat ke kantor pagi-pagi. Nina juga tidak lagi diantar Ibu seperti waktu kelas 1 dulu karena Ibu sekarang harus mengantar Riko, adik Nina yang masuk TK. Kini Nina harus naik mobil jemputan "Ayo Sekolah". Namun tentu saja Nina tidak keberatan. Menurut Nina, naik mobil jemputan lebih seru.
"Asyiknya, rame-rameeee," begitu alasan Nina, meniru salah satu iklan di televisi. Di mobil jemputan, Nina bisa ngobrol soal film Amigos dengan teman-teman satu mobil. Juga main tebak-tebakan lucu.
Akan tetapi, suatu ketika Nina rindu dibonceng Ayah lagi ke sekolah. Dan ayahnya tidak keberatan. Asal di hari Sabtu, saat Ayah libur kantor.
Hari Sabtu yang dinanti-nanti Nina akhirnya tiba juga.
Bremm, brem... Ayah menalakan motornya. Nina bergegas naik sambil mencangklongkan tasnya di punggung.
"Siap? Awas pegangan," Ayah mengingatkan.
Nina memeluk Ayah erat-erat. Ah, Nina merasa menemukan kembali sesuatu yang selama ini hilang. Bersama Ayah, hati Nina rasanya aman dan tenang.
Beberapa saat kemudian, Nina tiba di sekolah.
"Jangan lupa, nanti jemput jam setengah satu, ya, Ayah," pesan Nina setelah turun dari motor.
"Beres!" Ayah mengacungkan jempolnya. Akan tetapi...
Tepat jam setengah satu mobil jemputan "Ayo Sekolah" datang. Anak-anak berebut naik. Nina tidak ikut berebut karena sebentar lagi Ayah akan datang menjemputnya. Ia melambaikan tangan saat mobil jemputan berjalan meninggalkannya. Nina lantas menunggu Ayah di bawah pohon mangga di depan sekolah. Cukup lama ia menunggu. Sekolah sudah mulai sepi.
"Mana, sih, Ayah?" Nina mulai gelisah saat pedagang makanan pun mulai pulang.
Ia akhirnya melangkah menuju jalan raya. Nina memperhatikan setiap sepeda motor yang lewat. Yaa, siapa tahu Ayah datang. Terik matahari menyengat wajah dan tangannya. Tanpa terasa Nina sudah berjalan lebih 2 kilometer. Kini sampailah ia di dekat jembatan. Langkah kaki Nina mulai pelan. Karena kakinya mulai terasa pegal.
Weer... weer... Sudah puluhan sepeda motor berpapasan dengan Nina. Tapi tak satu pun di antara mereka adalah ayahnya. Brem, brem, brem... terdengar deru sepeda motor dari arah belakang. Nina yakin itu suara motor ayahnya. Namun ketika ia menengok, ternyata motor tukang ojek! Berkali-kali hati Nina kecewa.
Saat melewati jembatan dekat kebun pisang, hati Nina mulai dihinggapi rasa takut. Kabarnya kalau malam di jembatan itu sering ada hantu. Dan saat jtu jalanan sedang sepi. Meski matahari bersinar terang, jalanan sepi jadi terasa mencekam. Nina jadi ingin menangis. Untunglah ia teringat pesan ayahnya. Kata Ayah, kalau kamu takut bacalah doa. Nina segera komat-kamit berdoa. Dan tak terasa ia pun melewati jembatan dengan aman. Hatinya lega. Sesaat kemudian tampak serombongan anak SMP bersepeda. Salah satu pengendara sepeda itu menghampirinya,
"Nina, kenapa jalan kaki?"
"Eh, Mbak Yanti," ucap Nina.
Mbak Yanti adalah tetangga Nina.
"Ayo, Mbak bonceng," ajak Mbak Yanti.
Nina ragu. Ia masih berharap akan berpapasan dengan ayahnya. Namun Nina akhirnya naik juga. Sambil membonceng, Nina mendengarkan Mbak Yanti dan teman-temannya ngobrol soal film Meteor Garden. Wah, asyik juga. Apalagi Nina sangat menyukai film itu.
Tak terasa mereka sudah tiba di Jalan Cempaka 2. Mbak Yanti mengerem sepeda tepat di depan rumah Nina.
"Terima kasih, Mbak," kata Nina.
Di halaman, tampak sepeda motor Ayah terparkir di bawah pohon. Itu artinya Ayah ada di rumah.
"Huh, Ayah pasti lupa menjemputku," gerutu Nina. Ia segera masuk ke rumah dan keluar lagi lewat pintu belakang.
"Sebagai ganti, aku akan mintaAyah mengantar ke toko buku sekarang juga!" pikir Nina.
Di kebun belakang, Nina menemukan Ayah sedang pulas tertidur di bale-bale dekat kolam. Bajunya masih berlepotan lumpur. Rupanya Ayah baru selesai memanen ikan lele. Entah mengapa, rasa marah Nina tiba-tiba lenyap saat melihat ayahnya tertidur pulas.
"Mungkin Ayah kecapekan. Ah, kasihan, Ayah, kalau aku marah-marah. Setiap hari Ayah bekerja keras untuk aku, Riko, dan Ibu," batin Nina.
Petok, petok!
Suara ayam betina membangunkan Ayah. Ayah terkejut begitu melihat Nina berdiri di sampingnya.
"Astaga! Jam berapa ini?" kata Ayah.
"Ayah lupa! Nina jalan kaki, ya?" tanya Ayah lagi.
Nina mengganguk. Wajahnya lelah dan merah tersengat terik matahari. Bajunya basah mandi keringat.
"Nina, maafkan Ayah, ya!" kata Ayah sambil memeluk Nina.
"lya, iya. Sudah Nina maafkan dari tadi," ucap Nina sambil ikut duduk di bale-bale.
"Ayah bangga sekali. Kamu anak yang pemaaf. Tidak marah meski kamu dibuat susah," ujar Ayah.
"Apa susahnya, sih, Yah, memaafkan," ujar Nina. "Apalagi kalau Ayah belikan majalah bergambar Meteor Garden," kali ini Nina tersenyum malu-malu.
"Hahaha... anak pemaaf sepertimu rasanya memang pantas diberi hadiah majalah," tawa Ayah sambil mengacak rambut Nina. Ah, senangnya Nina memiliki Ayah yang baik.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Sigit Wahyu.