Hati Lira langsung ciut jadinya. Ternyata pulang kampungnya terakhir, menjadi terakhir kalinya ia membawa buah mangga manis dari pohon ini.
“Terima kasih, yah,” kata Lira sambil menepuk batang pohon mangganya itu.
Hari demi hari berlalu, sampai akhirnya tiba waktunya pohon itu ditebang. Lira menyaksikan apa yang dipeliharanya sejak tegak berdiri jadi tumbang. “Tidak apa Lira, ini demi tempat belajar,” kata Lira dalam hati untuk mengobati kesedihannya.
Tahun ajaran baru tiba. Lahan yang semula kosong, sekarang sudah disi sebuah gedung mungil dan banyak anak-anak yang suka berlarian di lapangan. Lahan itu beralih menjadi sebuah playgroup. Lira sudah melupakan kesedihannya tentang pohon mangga yang ditebang itu. Tiap pagi ia mendengar suara anak-anak yang begitu ceria.
Tok tok tok,
Pintu kamar kos Lira diketuk oleh Ibu kos.
“Ada apa, Bu?” tanya Lira.
“Dicari anak-anak sebelah, tuh,” kata Ibu Kos.
“Ah? Kenapa cari Lira?” tanya Lira bingung Ibu kos hanya menggeleng.
Lira pun keluar rumah dan melihat ada tiga orang anak yang berusia sekitar 4 sampai 5 tahun berdiri menantinya.
“Kak Lira, kata Pak Johan, kakak bisa membantu kami berkebun,” kata seorang anak yang pipinya merah.
Pak Johan adalah pemilik lahan, tempat Lira numpang menananm mangga dan yang selalu kebagian buah mangga.