Cecil si Naga Pemalas

By Sylvana Toemon, Selasa, 24 April 2018 | 08:00 WIB
Cecil si naga pemalas (Sylvana Toemon)

Cecil Naga sudah beranjak dewasa. Namun ia masih tinggal bersama kedua orang tuanya. Rumah mereka yang mungil, amat rapi dan bersih. Kecuali kamar Cecil. Cecil memang naga pemalas. Tapi sebenarnya ia punya kelebihan. Napasnya bisa mengeluarkan api yang sangat panas. Bisa membuat masakan matang, hanya dengan sekali dengus.

Kegemaran Cecil membaca komik. Bisa seharian ia tiduran di ranjang, membaca puluhan seri buku. Menurut Cecil, "Untuk apa bekerja, kalau tanpa berbuat sesuatu pun sudah bisa menikmati hidup?"

Mamanya sering bertanya, "Kelak kau ingin jadi apa, Cecil? Tak mungkin kau begini terus sampai tua."

"Cecil, pergilah mencari pekerjaan," begitu biasanya papanya menyambung, dengan wajah merah menahan marah.

“Jangan cemas, Pap dan Mam tercinta," begitu selalu jawaban Cecil. Sambil menggoyangkan ekornya dengan santai. "Saat ini untuk apa aku pusing-pusing cari kerja? Aku sudah mendapat segala yang kuinginkan."

Suatu hari, seperti biasa, Cecil bergulingan di ranjang membaca buku komik. Papa pergi kerja, Mama pergi belanja. Setelah menarik napas dalamdalam, Cecil menghembus sambil bergumam, "Aaah, nikmatnya hidup ini!"

Tanpa disadarinya titik-titik api dari dengusnya memercik ke gorden kamarnya! Cecil baru sadar setelah mencium bau asap. Tubuhnya terasa hangat. Tapi Cecil cuma menggoyang bahu. Kenapa harus repot-repot? Nanti, Mama atau Papa yang akan membereskan.

Namun nyala api semakin besar. Berkobar di sekitarnya. Seluruh rumah dijilati api, termasuk ranjang dan komik-komik Cecil! Naga malas itu akhirnya lari keluar kamar sebelum rumahnya roboh.

Cecil tidak terluka. Cuma ekornya melepuh. Ia lari ke kolam angsa untuk mendinginkan ekornya. Sssss... terdengar suara berdesis.

Ketika Mama Papa Cecil pulang kerja, tampak Cecil masih mengenakan piyama, meringkuk di halaman depan. Di belakang nampak rumah mereka yang kini sudah menjadi puing-puing. Kali ini kelakuan Cecil sudah keterlaluan. Mamanya sedih sekali. Dihabiskannya dua puluh satu saputangan untuk mengeringkan air matanya. Papanya marah sekali, wajahnya berubah semerah apel. Diomelinya Cecil lebih setengah jam. Tapi Cecil tidak mendengarkan. Pikirannya menerawang.

Akhirnya, ketika omelan Papa selesai, Cecil Naga berkata, "Papa tidak perlu cemas. Hidup kita segera membaik. Tunggu, tidak akan lama lagi."

"Bagaimana mungkin?" Papa kembali meraung, warna mukanya merah padam, seperti buah prem.