Secangkir Cokelat Hangat

By Putri Puspita, Rabu, 9 Agustus 2017 | 05:00 WIB
Secangkir Cokelat Hangat (Putri Puspita)

Waktu itu hujan deras. Bajuku sudah basah kuyup, koran-koran yang kujual juga basah padahal aku sudah lari-lari dari tengah jalan untuk melindunginya. Hah, tetap saja basah. Harusnya kalau hujan sudah turun rintik-rintik aku berhenti berjualan dan berteduh saja. Kalau seperti ini, kan, jadi harus ganti rugi koran basah.

“Dapat uang dari mana, ya?” tanyaku dalam hati.

Waktu itu angin berhembus dingin sekali. Aku memeluk diri sendiri karena kedinginan. Di rumah pasti sudah banjir karena atap kami bocor. Aku membayangkan betapa repotnya Abang. Atau, jangan-jangan Abang belum pulang kerja.

“Gawat, bisa-bisa rumah banjir,” kataku dalam hati.

Aku tak punya pilihan lain selain berteduh. Bukan hanya hujan yang deras, tetapi angin begitu kencang, ditambah petir menyambar silih berganti. Semuanya menakutkan dan berbahaya.

“Hai, Nak!” tiba-tiba terdengar suara dari belakangku. Aku melihat pintu toko terbuka dan ada seorang Bapak. Aku sering melihat bapak itu di rumah panti asuhan di dekat rumahku. Mungkin ia sering membawa sumbangan untuk panti asuhan. 

“Anak lelaki memang kuat! Tapi sebaiknya kamu masuk! Hujan sangat deras, nanti kau sakit,” katanya.

Aku menurut masuk karena saat itu aku memang sangat kedinginan sampai gemetaran. Aku segera diberikan handuk, peralatan mandi, dan pakaian kering. Semuanya masih baru. Bapak itu pasti mengambilnya dari rak-rak di dalam tokonya ini.

“Makasih, Pak,” kataku. Aku segera menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan keramas agar tidak pusing.

Rasanya jauh lebih baik. Ruangan ini hangat walaupun di luar sedang hujan deras, bahkan petirnya pun belum berhenti bersahutan.

“Ini diminum dulu,” kata Bapak itu menyajikan secangkir cokelat hangat. Aromanya sangat harum. Ada hiasan putih di atasnya. 

“Wah bagus sekali Pak...  Bagaimana cara membuat hiasan di atas minuman?” kataku terpesona.

“Nanti kita belajar, ya. Minum dulu saja,” katanya singkat. "Makan juga kue ini," kata Pak Wira sambil meletakkan piring berisi sepotong kue berbentuk hati. 

Aku menikmati minuman yang ternyata cokelat hangat itu. Kuenya juga lezat. Aku beruntung sekali ditolong Bapak ini. Namun, aku penasaran mengapa Bapak ini hanya sendirian.