Veya dan Cincin Emas Peri

By Vanda Parengkuan, Senin, 7 Mei 2018 | 08:00 WIB
Veya dan Cincin Emas Peri (Vanda Parengkuan)

Veya, si berang-berang, sangat sedih. Sepupunya memiliki mantel berbulu emas. Tetangganya memiliki syal berwana lumut indah. Sementara Veya tidak memiliki apa-apa. Ia hanya punya kulit berwarna cokelat, yang tak bisa dibedakan dengan tanah di permukaan bumi.

Selain tak punya apa-apa, tubuh Veya juga cukup kecil. Hampir semua penghuni hutan tidak memerhatikannya. Tak ada pula berang-berang yang au bermain dengannya. Ia mendapat julukan Si Cokelat Polos.

Ini sangat tidak adil!

Veya sedih sekali. Ia ingin sekali menjadi berang-berang yang cantik supaya punya banyak teman. Ia ingin sekali saudara-saudara dan teman-temannya memerhatikannya. Veya ingin mereka melihat bahwa ia memiliki hati yang cantik walau ia tak punya apa-apa. Sayangnya, memang tak ada yang tertarik padanya.

Veya yang malang  tidak pernah diundang ke pesta manapun. Walau diundang, ia pun tak bisa datang karena tak punya mantel atau syal bulu yang indah. Veya duduk murung di jendelanya dan menonton para berang-berang yang akan ke pesta.   

“Satu malam lagi di rumah sendiri!” keluhnya.

Satu pagi, Veya berlindung di balik batu air terjun. Tiba-tiba, ia melihat gadis cantik di tepi sungai. Apakah itu peri dari kahyangan, pikir Veya. Rambutnya berhias sekuntum bunga indah.

Si cantik itu membungkuk di atas air sungai dan minum. Dia mengisi tangannya yang tertangkup dengan air segar. Veya sangat kagum hingga ia tidak sadar kakinya tergelincir. Dia tidak bisa mencengkram di batu yang licin dan jatuh ke dalam air. Dia mendarat tepat di tangan wanita cantik itu.

Veya terbaring di tangan itu dengan gemetar ketakukan. Dia mengira gadis itu akan marah. Makhluk cantik seperti itu, pasti akan menganggap dia seekor beaver yang  menjijikan.

 “Hai, beaver yang sedikit ceroboh!” kata gadis cantik itu ramah. Ia tersenyum dan mengangkat Veya dengan lembut. Dengan lembut juga, ia meletakkan Veya di tepi sungai. Sebelum melepaskan Veya, ia mencium Veya dan berkata, “Pulanglah dengan hati-hati, beaver kecil yang cantik.”

Kata-kata itu membuat Veya tersipu malu dengan kebahagiaan. Belum pernah ada yang berkata ia cantik. Veya bergegas pergi dan bersembunyi di semak-semak. Betapa baik dan ramahnya gadis cantik itu, pikir Veya. Dari mana dia datang?

Keesokan harinya, Veya kembali ke tepi sungai dekat air terjun itu. Dia memetik dua kuntum bunga yang besar. Dia akan memberikannya pada gadis cantik yang ramah itu sebagai tanda terimakasih.