Wang dan Mei

By Sylvana Toemon, Rabu, 14 Maret 2018 | 12:00 WIB
Wang dan Mei (Sylvana Toemon)

Perempuan tua itu memberitahu bahwa Mei dibawa raksasa ke puncak gunung.

Dengan teguh hati, Wang meminjam kuda perempuan tua itu untuk pergi ke istana raksasa. Esok lusanya, ia bertemu dengan raksasa berjenggot merah jambu itu. Dengan segera,ia menyatakan keinginannya menjemput Mei. Raksasa membawa Wang ke taman.

“Kau mencari istrimu? Pilihlah sendiri!” seru sang Raksasa sambil menepukkan kedua tangannya.

Tiba-tiba 12 wanita yang serupa Mei muncul dan berdiri tegak bagaikan patung. Wajah, bentuk badan, dan pakaiannya sama.

Wang memperhatikan 12 wanita itu dengan saksama. Ia menunjuk wanita yang nomor tujuh sambil berkata, “Yang itu istriku. Matanya berlinang air mata. Hanya ia yang berperasaan halus. Ia menangis karena melihat aku datang mencari dia!”

Raksasa itu bertepuk tangan sekali lagi dan 12 wanita itu bertukar tempat dengan cepat dan semuanya membelakangi Wang.

“Kamu sudah mengenali istrimu dari depan. Sekarang, pilihlah yang mana istrimu,” kata raksasa.

Wang terdiam sesaat. Sungguh sulit  memilih istri dari belakang. Semuanya serupa.

Kemudian Wang menyentuhkan  jari-jarinya pada setiap punggung wanita itu. Tiba-tiba wanita nomor 11 mengaduh lirih ketika disentuh.

“Inilah istriku. Punggungnya luka dan sulit sembuh,” kata Wang. “Sedikit saja disentuh, ia sudah kesakitan.”

Raksasa itu bertepuk tangan lagi dan semua wanita lenyap, kecuali Mei.

“Aku sangat menghargaimu. Kamu mau bersusah payah mencarinya dan sangat mengasihi dia. Karena itu, istrimu akan kukembalikan. Jagalah dia baik-baik, jangan biarkan ibumu menyakiti dia!” kata raksasa.

Wang dan Mei berpamitan pada raksasa dan dengan berkuda mereka kembali ke rumah perempuan tua itu. Sesudah mengembalikan kuda dan mengucapkan terima kasih, mereka pulang ke rumah.

Setiba di rumah, mereka sangat  terkejut karena Ibu Wang terbaring sakit. Wajahnya dicakar kera dan ia mengaduh kesakitan karena punggungnya luka-luka. Ibu Wang mengusir mereka dengan pikulannya. Namun, seekor kera besar merebut pikulan itu dan memukuli punggung ibu Wang. Sekarang ia tahu rasanya bagaimana rasanya dipukuli dengan tongkat.

Wang dan Mei mengobati Ibu Wang. Setelah sembuh, ia tidak berani lagi memukul Mei. Wang dan Mei pun hidup dengan tenteram dan bahagia.

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna.