“Mio!” kupanggil dia.
“Mio!” Aku bergegas mencari, Biru mengikuti. Di samping rumah, ada sebuah kamar pembantu. Pintunya terbuka. Mio menyelinap ke sana. Nakal dia!
“Mio, keluar!” perintahku. Perasaanku tak enak, pasti Biru akan berprasangka yang bukan-bukan. Aku meliriknya.
Temanku itu melangkah ke dalam kamar. Ia melihat sesuatu. Sebuah tangan boneka kecil terjulur dari bawah bantal. Suaranya tercekat saat menyingkap bantal, “Ini, kan, boneka adikku!” Kami berpandang-pandangan.
“Maafkan aku!” kata Biru.
Tanpa komando, kami berdua segera memeriksa isi kamar. Mio mengendusendus. Ia tampak senang. Dikiranya ini sebuah permainan. Biru akhirnya menemukan baju, topi, serta beberapa mainan di dalam sebuah dus di bawah tempat tidur. Mengapa Mbak Dauh mencuri? Pertanyaan itu terjawab saat keluarga Biru pulang.
“Kuambil untuk adik-adikku di kampung,” Mbak Dauh menunduk.
“Kalau Mbak meminta baik-baik, pasti aku berikan,” kata Biru.
Ayah dan ibu Biru menasihati gadis pembantu itu. Lalu menyuruhnya meminta maaf padaku. Wajah Mbak Dauh makin memerah. Dia diam. Tapi, tatapannya menunjukkan betapa dia malu dan menyesal.
Siapa yang tak malu ketahuan mencuri dan memfitnah? Itu perbuatan tercela!
“Guk, guk, guk…” Mio menggonggong seakan mengiyakan isi hatiku. Bulunya yang putih lebat kubelai dengan sayang.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Lena D.