“Tim Indonesia menang lagi, tim Indonesia menang lagi, Kek!!!” kata Susan.
“Hebat yaa hebaaat!” sahut Kakek. “Ah senangnya bisa menonton atlet Indonesia yang berjuang,” kata Kakek.
Susan menoleh ke arah Kakek dan berkata, “Memangnya kalau dulu tidak bisa menonton, Kek?”
Kakek menggeleng dan tersenyum. “Nggak bisa, San. Susah nontonnya. Hitam putih warnanya,” kata Kakek sambil sedikit tertawa.
“Hoooo… Kan, Kakek punya televisi?” tanya Susan.
“Iya tapi dulu, kan, tidak banyak tontonannya. Warnanya juga hitam putih,” jawab Kakek.
Susan menuju salah satu pojok rumah. Di sana ia melihat raket Kakek yang dipajang. Sejak dahulu, Kakek sangat suka bermain bulu tangkis. Di bawah raket itu, ada televisi tua yang merebut perhatian Susan. Televisi tua yang klasik. Walaupun tak terpakai lagi, Kakek masih rajin untuk merawat televisi itu.
“Kek, televisi ini pasti berharga sekali, ya. Sampai-sampai masih disimpan di sini padahal sudah tidak bisa digunakan,” kata Susan.
Kakek mengangguk dan tersenyum. Susan pun memasang ekspresi sangat ingin tahu. “Pasti ada ceritanya,” kata Susan, berharap Kakek bercerita.
“Televisi itu sebenarnya hadiah, lo, San,” kata Kakek membuka ceritanya.
“Wah, siapa yang memberi hadiah televisi, Kek?” tanya Susan.
“Hayo tebak! Televisi itu begitu berharga karena itu adalah hadiah,” jawab Kakek.
Susan memicingkan mata dan mulai berpikir. “Siapa yaaah?” kata Susan tidak menemukan jawaban. Kakek pun tertawa kecil saat melihat wajah Susan yang kebingungan.