Putri Gembala Angsa (Bag.1)

By Vanda Parengkuan, Rabu, 4 April 2018 | 04:00 WIB
Putri Gembala Angsa (Bag 1) (Vanda Parengkuan)

Beberapa ratus kilometer kemudian, Putri haus lagi karena matahari begitu terik. Ketika sampai di aliran air, ia kembali berseru pada pelayannya,

"Tolong ambilkan aku air minum di cangkir emasku,” katanya lagi, karena ia sudah lupa perlakuan buruk Neida tadi.

Namun Neida tetap menjawab dengan angkuh, "Jika kau ingin minum, minumlah sebanyak mungkin di sungai. Ibuku memang adalah pelayan ibumu. Tapi aku tak mau menjadi pelayanmu!”

Karena sangat kehausan, Putri Amara turun dari kuda. Ia membungkuk di atas arus sungai yang mengalir, menangis dan berkata, "Ah, teganya!"

Dan sekali lagi terdengar suara dari tetes darah di saputangannya, “Jika ibumu tahu hal ini, hatinya tentu sangat sedih…” Namun sekali lagi, Putri Amata tidak menceritakan apa-apa.

Saat Putri Amara sedang minum dan bersandar tepat di tepi sungai, saputangan dengan tiga tetes darah itu terjatuh dari pinggangnya. Lalu hanyut terbawa air sungai tanpa disadarinya. Neida yang sedang menunggu, melihat saputangan yang hanyut itu. Ia sangat girang.

“Sekarang, aku bisa berkuasa atas Putri Amara. Tanpa saputangan itu, ia tidak bisa melaporkan apapun pada Ratu Alda!” gumam Neida.  

Ketika Putri Amara  akan menaiki Falada, kudanya lagi, Neida langsung berkata, "Falada lebih cocok untukku! Dan sudah lama aku ingin merasakan jadi putri seperti kamu!”

Neida kemudian memaksa Putri Amara untuk bertukar gaun. Ia mengenakan gaun putri yang indah, dan Putri Amara mengenakan gaun yang lusuh.

“Ingat! Kau harus berjanji untuk tidak menceritakan hal ini pada siapapun di kerajaan pangeran. Kalau kau tak mau bersumpah, aku akan meninggalkanmu tanpa kuda di jalan ini!” ancam Neida.

Putri Amara hanya bisa menangis dan berjanji tak akan menceritakan hal itu. Dengan tubuhnya yang lemah tanpa saputangan dari ibunya, ia tak berani ditinggalkan sendirian di jalanan.

Diam-diam, Falada mengamati semua perlakuan Neida pada Putri Amara. Neida kini naik ke punggung Falada dengan gaun yang indah. Sementara Putri Amara menaiki kuda biasa dengan gaunnya yang lusuh. Mereka meneruskan perjalanan, dan sampailah di istana kerajaan sang pangeran.