Putri Gembala Angsa (Bag.1)

By Vanda Parengkuan, Rabu, 4 April 2018 | 04:00 WIB
Putri Gembala Angsa (Bag 1) (Vanda Parengkuan)

Dahulu kala, hiduplah seorang ratu yang sudah tua bernama Ratu Alda. Suaminya telah meninggal. Ia mempunyai seorang putri cantik bernama Amara. Suatu ketika, Ratu Alda membuat perjanjian dengan sahabatnya, Raja Frederick yang tinggal di kerajaan negeri seberang.

Raja Frederick mempunya putra tunggal bernama Pangeran Rambert . Ratu Alda dan Raja Frederick berjanji akan menikahkan Putri Amara dengan Pangeran Rambert , walau anak-anak mereka itu belum pernah bertemu.

Ketika waktu untuk pesta pernikahan sudah dekat, Ratu Alda jatuh sakit. Ia tak bisa mengantarkan putrinya. Sesuai kebiasaan di kerajaan itu, calon pengantin perempuan harus berangkat ke tempat calon pengantin pria.

Dengan berat hati, dan dengan tubuh yang lemah, Ratu Alda berusaha menyiapkan segala kebutuhan putrinya. Ia mengemasi banyak peralatan rumah tangga dari emas untuk sang putri.

Ratu Alda juga memilih seorang pelayan bernama Neida untuk menemani Putri Amara. Neida adalah anak perempuan dari pelayan tua kesayangan Ratu Alda.

Putri Amara juga diberikan seekor kuda gagah yang bisa berbicara, bernama Falada. Neida diberikan seekor kuda biasa untuk membawa berbagai peralatan emas untuk Putri Amara.   

Ketika saatnya akan berpisah, Ratu Alda menusuk jarinya dengan jarum. Ia membiarkan tiga tetes darahnya jatuh ke sehelai saputangan putih. Ia lalu memberikannya kepala puterinya dan berkata, “Anakku, simpanlah saputangan ajaib ini. Saputangan ini akan menemanimu di perjalanan. Kalau sesuatu terjadi, bicaralah pada saputangan ini, maka aku bisa mendengarnya…” kata Ratu Alda.

Setelah saling berpelukan sedih, merekapun berpisah. Sang putri menyelipkan saputangan itu di pita yang melingkari pinggangnya. Ia menaiki kuda dan memulai perjalanan bersama pelayannya.

Di tengah jalan, Putri Amara mulai merasa kehausan. Ia berkata pada Neida, pelayannya, “Tolong ambillah cangkir emasku yang ada di tas peralatan makan. Ambilkan aku air dari sungai, karena aku ingin minum."

Neida tampak jengkel. Sifat aslinya yang iri hati, baru terlihat. "Jika kau haus," kata Neida,  "Turunlah sendiri dari kudamu, dan minumlah  langsung dari  air sungai. Di perjalanan ini, aku tidak mau menjadi pelayanmu."

Karena sangat haus, sang putri pun turun. Neida tak mau memberikannya cawan emas untuk sang putri minum. Maka Putri Amara pun membungkuk di atas air sungai dan menciduk air dengan tangannya, lalu minum. Dengan sedih Putri bergumam,  "Ah, teganya…"

Tiga tetes darah di saputangan pemberian Ratu Alda menjawab, "Jika ibumu tahu hal ini, hatinya pasti akan sangat sedih!” Namun putri Amara sangat rendah hati.  Ia tidak menceritakan apa pun pada saputangan itu, karena tak ingin ibunya khawatir. Ia segera naik ke kudanya lagi. Mereka pun meneruskan perjalanan.

Beberapa ratus kilometer kemudian, Putri haus lagi karena matahari begitu terik. Ketika sampai di aliran air, ia kembali berseru pada pelayannya,

"Tolong ambilkan aku air minum di cangkir emasku,” katanya lagi, karena ia sudah lupa perlakuan buruk Neida tadi.

Namun Neida tetap menjawab dengan angkuh, "Jika kau ingin minum, minumlah sebanyak mungkin di sungai. Ibuku memang adalah pelayan ibumu. Tapi aku tak mau menjadi pelayanmu!”

Karena sangat kehausan, Putri Amara turun dari kuda. Ia membungkuk di atas arus sungai yang mengalir, menangis dan berkata, "Ah, teganya!"

Dan sekali lagi terdengar suara dari tetes darah di saputangannya, “Jika ibumu tahu hal ini, hatinya tentu sangat sedih…” Namun sekali lagi, Putri Amata tidak menceritakan apa-apa.

Saat Putri Amara sedang minum dan bersandar tepat di tepi sungai, saputangan dengan tiga tetes darah itu terjatuh dari pinggangnya. Lalu hanyut terbawa air sungai tanpa disadarinya. Neida yang sedang menunggu, melihat saputangan yang hanyut itu. Ia sangat girang.

“Sekarang, aku bisa berkuasa atas Putri Amara. Tanpa saputangan itu, ia tidak bisa melaporkan apapun pada Ratu Alda!” gumam Neida.  

Ketika Putri Amara  akan menaiki Falada, kudanya lagi, Neida langsung berkata, "Falada lebih cocok untukku! Dan sudah lama aku ingin merasakan jadi putri seperti kamu!”

Neida kemudian memaksa Putri Amara untuk bertukar gaun. Ia mengenakan gaun putri yang indah, dan Putri Amara mengenakan gaun yang lusuh.

“Ingat! Kau harus berjanji untuk tidak menceritakan hal ini pada siapapun di kerajaan pangeran. Kalau kau tak mau bersumpah, aku akan meninggalkanmu tanpa kuda di jalan ini!” ancam Neida.

Putri Amara hanya bisa menangis dan berjanji tak akan menceritakan hal itu. Dengan tubuhnya yang lemah tanpa saputangan dari ibunya, ia tak berani ditinggalkan sendirian di jalanan.

Diam-diam, Falada mengamati semua perlakuan Neida pada Putri Amara. Neida kini naik ke punggung Falada dengan gaun yang indah. Sementara Putri Amara menaiki kuda biasa dengan gaunnya yang lusuh. Mereka meneruskan perjalanan, dan sampailah di istana kerajaan sang pangeran.  

Seisi kerajaan senang menyambut mereka. Pangeran Rambert  menyambut mereka. Ia membantu Neida turun dari Falada dan mengajaknya masuk ke dalam istana. Sementara Putri Amara dibiarkan sendirian di halaman istana.   

Raja Rainor yang tua, ayah pangeran Rambert , melihat ke luar jendela. Ia melihat Putri Amara yang berdiri sendirian di halaman. Betapa mungil dan cantiknya gadis pelayan itu, pikir Raja Rainor. Ia pun bergegas pergi ke ruang makan, tempat Pangeran Rambert  dan Neida sedang menikmati jamuan makan.

“Putri, siapakah gadis cantik yang datang bersamamu?”

"Dia pelayan yang menemaniku di perjalanan. Tapi kelakuannya tidak sopan. Tolong berikan dia pekerjaan yang sulit, supaya dia tidak betah di kerajaan ini!” ujar Neida. 

Raja Rainor bingung, pekerjaan apa yang harus dia berikan pada Putri Amara yang disangkanya pelayan itu. Ia sudah memiliki banyak pelayan di istana itu. Maka, Raja Rainor berkata, "Saya punya seorang gembala angsa bernama Conrad. Mungkin pelayanmu bisa membantu Conrad!”

Maka mulai hari itu, Putri Amara pun menjadi gembala angsa, menemani Conrad. Setiap hari, mereka harus mengangon angsa-angsa Raja Rainor ke padang rumput. Sementara itu, Neida mulai khawatir jika Falada membuka rahasia. Maka ia berkata pada Pangeran Rambert , “Tunanganku, tolongkah aku…”  

“Apa yang harus aku lakukan, tunanganku…” jawab Pangeran Rambert .

"Aku sangat kesal pada kuda yang aku tumpangi. Dia memberontak di sepanjang jalan menuju ke istana ini. Tolong kurung dia sendirian di kandang yang letaknya terpencil!”

Pangeran Rambert  mengikuti kemauan Neida. Maka, Falada pun dikurung sendirian di kandang yang jauh terpencil di sudut halaman belakang istana.

Berita ini sampai ke telinga Putri Amara. Betapa sedihnya Putri Amara. Namun diam-diam ia berjanji untuk menengok Falada.

(Bersambung)

Teks adaptasi: L. Olivia

Dok. Majalah Bobo / Brothers Grimm