Saat biri-birinya mulai besar, keajaiban mulai tampak. Bulu biri-biri itu ternyata tidak putih bersih. Warnanya berwarna-warni! Merah, oranye, kuning, hijau, biru, dan ungu. Awalnya muda sekali warnanya, lama-lama semakin pekat dan cantik.
Katum mulai bersemangat. Ia semakin yakin tujuh biri-birinya itu ajaib. Biri-biri itu juga selalu menyambutnya dengan penuh suka cita. Katum semakin sering tersenyum dan mulai bernyanyi kecil saat bermain bersama biri-birinya di padang rumput.
Akan tetapi, musim hujan lalu melanda desa mereka. Tidak ada matahari yang bersinar selama berbulan-bulan. Pak Kujang sakit flu tidak sembuh-sembuh. Di mana-mana terjadi banjir, ladang-ladang Bu Sayur habis terkuras. Katum kesulitan mencari rumput dan sayur untuk ketujuh biri-birinya.
Pada suatu sore, hujan lebat turun. Katum pergi ke kandang membawa sekeranjang kecil sayuran.
Biri-biri merah, biri-biri tertua yang kini sudah bertanduk gagah, menyapanya, “Terima kasih untuk kebaikan hatimu, Katum. Kamu sudah merawat kami sampai tanduk-tanduk kami sudah tumbuh.”
“Ya, sekarang kami sudah jadi biri-biri ajaib sepenuhnya. Kami bisa mengabulkan permintaanmu,” sambung biri-biri biru.
“Kamu mau kembali jadi putri raja, kan?” tanya biri-biri ungu.
Katum terdiam. Hujan menggelegar di luar kandang. Tentu saja ia ingin kembali menjadi putri raja di istana, dipuja dan dilayani banyak orang. Tetapi…
“Uhuk uhuk…” terdengar suara Pak Kujang, terbatuk-batuk parah. Kata dokter jika cuaca terus dingin dan basah seperti ini, sakit Pak Kujang akan semakin parah. Biri-biri kuning maju mendekati Katum, “Apa yang kau inginkan, Katum?”
Katum menjawab ragu, “Aku… aku…” Bayangan dirinya dengan gaun cantik dan mahkota berkilau tampak jelas di pelupuk matanya.
Katum mengerjapkan mata dan menjawab tegas, “Aku ingin musim hujan berhenti dan matahari bersinar lagi agar desa kami kembali subur!”
“Permintaan yang bagus,” ucap biri-biri hijau dengan nada bangga.