Rania memandang padang rumput luas berbatas langit biru itu dengan kagum. Indah sekali. Sahabat penanya, Hora, yang asli Sumba, menunjukkan kuburan batu kuno yang terletak di padang rumput itu.
“Ini kuburan nenek moyangku. Roh nenek moyang ini yang menyampaikan pesan kami ke Tuhan,” jelas Hora. Di atas kuburan batu itu, tampak beberapa sesaji sirih pinang.
”Kami semua menghormati mereka. Karena itu, kami memberi mereka hadiah seperti sirih pinang ini,” ucap Hora lagi sambil menyentuh kuburan batu itu dengan sangat khidmat. Raina jadi terharu melihatnya.
Dilepaskannya jepit rambut merahnya dan diletakkannya di atas kuburan batu itu.
“Aku juga menghormati mereka. Aku kasih jepit rambut ini, ya,” kata Raina polos. Setelah itu mereka pergi meninggalkan kuburan kuno itu.
* * *
Malamnya Raina bermimpi buruk. Ia bermimpi sedang berlari di padang rumput indah yang tadi siang, tetapi lalu suatu bayangan hitam besar menimpanya. Ternyata ia dikejar jepit rambut raksasa.
Clop clop clop… begitu bunyi jepit rambut itu mengejarnya sambil membabat setiap rumput yang dilewatinya. Raina menjerit dan berlari kencang menghindarinya.
“Kenapa aku di sini… Aku mau pulang… “ rintih jepit rambut raksasa sambil terus mengejar Raina.
Raina berlari sampai tersudut ke kuburan batu. Jepit rambut raksasa itu semakin dekat,
“Bukan di sini tempatku… Kembalikan aku…” rintihnya lagi. Raina tidak tahan lagi, ia menjerit sekeras mungkin.
“Raina! Raina!” Panggil Hora cemas. Raina terbangun dan langsung lega karena semua itu cuma mimpi. Ia segera menceritakan mimpinya kepada Hora. Hora juga tidak mengerti maksud mimpi Raina.
Setelah tenang, Raina berpikir untuk mencatat mimpi itu di buku catatan perjalanannya. Ia mengambil buku catatan dan meminjam sebatang pena dari Hora. Setelah selesai menulis, Raina menyimpan kembali buku dan pena biru itu, lalu kembali tidur.