Runi dan Rudi tak sabar menantikan sepeda berwarna perak yang dipesan beberapa hari yang lalu. Sepeda itu akan menjadi milik mereka bersama. Sepeda itu juga akan menjadi sepeda pertama mereka. Sebelum sepeda mereka datang, Amir meminjamkan sepeda tuanya untuk Runi dan Rudi berlatih. Sore itu, Amir datang dengan sepedanya.
“Begini caranya… Setelah duduk, letakkan kaki di pedal, kemudian genjot,” ujar Amir sambil memberi contoh. Srrr… Amir meluncur santai di atas sepedanya.
“Kelihatannya mudah. Aku sudah tak sabar untuk berlatih dengan sepeda baru,” sahut Runi.
Runi malas berlatih menggunakan sepeda hitam yang banyak goresan itu. Runi kemudian meninggalkan Rudi dan Amir yang berlatih di halaman. Sementara Rudi berlatih sepeda dengan tekun. Berkali-kali ia jatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan, namun Rudi kembali bangkit. Rudi sampai tak sadar kaki dan tangannya lecet-lecet. Ia tak merasakannya karena sangat bersemangat berlatih sepeda. Setelah 2 jam berlatih, Rudi sudah bisa mengemudikan sepeda.
Hari demi hari berlalu. Sepeda pesanan Runi dan Rudi belum kunjung datang. Menurut Bu Dini, sepeda itu langsung didatangkan dari pabriknya di kota lain. Perlu waktu lebih dari seminggu untuk mengirimkannya.
“Runi, Rudi,” panggil Bu Dini, “hari ini sepeda kalian akan dikirimkan ke rumah,” lanjutnya.
Kedua anak kembar itu bersorak girang mendengarnya. Runi dan Rudi bergantian mengintip keluar pagar saat mendengar bunyi kendaraan. Sampai akhirnya ada sebuah mobil boks bergambar sepeda berhenti di depan rumah mereka. Runi dan Rudi langsung berlari mendekati mobil itu.
“Kalian tunggu di halaman, ya,” pinta Bu Dini.
Terlihat 2 orang membuka pintu belakang mobil boks. Mereka membawa keluar 2 buah sepeda kemudian meletakkannya di depan Runi dan Rudi. Kedua sepeda itu mirip sekali bentuknya. Bedanya, di salah satu sepeda ada keranjangnya dengan hiasan berbentuk pita.
“Ini sepeda kalian,” kata salah seorang pria itu.
“Eh, terima kasih… Hmmm, maaf, ka ka mi pesannya cuma sa sa satu sepeda,” ucap Rudi terbata-bata. Sementara Runi melongo memandang kedua sepeda yang mengkilap itu.
“Mama memang membeli 2 sepeda untuk kalian masing-masing satu,” ujar Bu Dini.
Kedua anak itu langsung bersorak gembira kemudian mengucapkan terima kasih kepada ibunya. Kedua anak itu sudah berada di dekat sepeda masing-masing saat mobil boks meninggalkan rumah mereka. Runi tentu saja memilih sepeda yang ada keranjangnya.
Srrrr… Rudi meluncur dengan sepedanya di jalan setapak. Rudi sudah bisa mengemudikan sepeda dengan baik. Melihat itu, Runi tak mau kalah. Ia pun mencoba menggenjot pedal sepeda barunya. Sepeda Runi berjalan dengan pelan, bergoyang ke kiri dan ke kanan, kemudian jatuh.
“Aw! Aku jatuh!” teriak Runi kesakitan.
Rudi segera membantu Runi yang tertimpa sepeda. Lutut Runi lecet, wajahnya meringis.
“Aku pikir mengendarai sepeda itu mudah,” ujar Runi.
“Pasti karena kamu melihat Amir, ya? Buat yang sudah bisa, mengendarai sepeda memang mudah,” ucap Rudi.
“Lihat, sepedaku tergores. Seharusnya aku belajar dulu, ya,” sesal Runi.
“Yang penting kamu tidak tergores sebanyak aku. Ayo coba lagi,” hibur Rudi sambil menunjukkan lecet-lecet di lututnya yang mulai mengering.
Runi pun kembali mencoba menaiki sepedanya. Setiap kali sepedanya oleng, Runi menghentikan sepedanya. Beberapa kali Runi terjatuh dan nyaris putus asa. Rudi terus memberi semangat sampai akhirnya Runi pun bisa.
Hari-hari berikutnya, Runi dan Rudi giat berlatih mengendarai sepeda. Saat libur, mereka boleh bersepeda di taman kota. Di sana, mereka bertemu dengan teman-teman lain yang juga mengendarai sepeda. Walaupun lomba sepeda hias masih lama, Runi dan Rudi sangat giat berlatih. Mereka juga merencanakan hiasan buat lomba sepeda hias.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Sylvana Hamaring Toemon.