Misteri Daun Tiga Warna

By Sylvana Toemon, Selasa, 1 Mei 2018 | 13:00 WIB
Misteri danau tiga warna (Sylvana Toemon)

Peri Bunga Empat Warna amat terkejut. Dia kalah lincah dari empat pasang tangan yang berusaha menangkapnya. Dengan segera ia tertangkap. Toki langsung mengambil Bunga Empat Warna yang dipegangnya.

“Ah, tidak!” Seru Peri Bunga Empat Warna. “Kalian boleh memiliki Bunga Empat Warna ini, tapi harus berjanji kepadaku bahwa kalian hanya akan menggunakannya untuk menolong orang.”

“Ibu janji,” sahut Bu Peng. “Aku berjanji!” sambar Pak Liat mantap.

“Aku juga!” sahut Nek Syn.

“Hmm…” Toki ragu sejenak. Dia tahu yang dia inginkan hanya ketampanan. Namun, akhirnya dia memutuskan untuk setuju saja.

“Aku juga berjanji.” Maka Bunga Empat Warna itu berpindah tangan. Mereka membagi empat kelopak itu dengan adil. Masing-masing mendapat satu kelopak. Yang perlu mereka lakukan hanyalah mengguncang-guncangkan kelopak itu empat kali sambil meminta. Mereka pun berpisah.

Sayangnya, Pak Liat tidak kuat menahan godaan. Entah kenapa bayangan emas permata begitu kuat dalam pikirannya. Begitu yang lain tak terlihat, Pak Liat langsung meminta harta karun dari kelopak bunga Empat Warna.

Ajaib! Kelopak bunga itu membesar dan membelit Pak Liat. Pak Liat terkejut dan berusaha minta tolong tapi dia sudah telanjur tertelan kelopak bunga itu. Kaki Pak Liat bagaikan tercecah ke bawah tanah dan tiba-tiba keluar air dari situ. Airnya terus membanjir keluar dan akhirnya menjadi danau berwarna merah. Semerah kelopak Bunga Empat Warna yang menelannya. Itulah Tiwu Ata Polo.

Sementara itu Nek Syn berjalan menuruni gunung. Tiba-tiba seekor ular berbisa mematuknya. Rasanya sakit luar biasa. Nek Syn ketakutan bahwa ajal akan menjemputnya. Akhirnya Nek Syn melupakan janjinya untuk menggunakan kekuatan kelopak Bunga Empat Warna untuk menolong orang. Terucaplah keinginan hidup abadinya. Detik itu juga kelopak bunga Empat Warna berwarna putih yang dipegangnya membesar dan menelannya, menjadi danau berwarna putih. Itulah Tiwu Ata Mbupu.

Tanpa mengetahui apa yang menimpa Pak Liat dan Nek Syn, Toki berjalan sampai ke pinggir hutan. Dia melihat beberapa gadis peri yang amat cantik sedang bernyanyi merdu. Tiba-tiba Toki merasa rendah diri akan dirinya yang buruk rupa. Toki takut gadis-gadis itu akan mencelanya. Ia pun mengucapkan keinginan menjadi tampan. Kelopak bunga Empat Warna berwarna biru langsung membesar dan menelannya. Ia pun berubah menjadi danau berwarna biru. Itulah Tiwu Nuwa Muri Koo Fai.

Yang selamat dengan Bunga Empat Warna itu hanyalah Ibu Peng. Ia menggunakan kelopak kuningnya untuk memohon kesembuhan bagi putrinya, Suli.

***

“Sejak itu secara turun temurun Suli selalu mewariskan kelopak bunga kuningnya untuk menolong orang lain,” kata gadis cilik itu sambil meletakkan kelopak bunga kuning di telapak tanganku. “Semoga cepat sembuh,” lanjutnya.

***

Aku merasa badanku yang panas terasa lebih dingin. Tiba-tiba aku membuka mataku dan melihat ibuku sedang mengompres keningku dengan es.

“Sst… jangan bergerak dulu. Kamu lagi demam.” Kata ibuku lembut. Aku ingat, aku sedang berwisata ke Gunung Kelimutu tapi tubuhku terasa lemas dan tidak enak. Aku ingat terpukau oleh keindahan tiga danau berbeda warna itu. Lalu… lalu… aku tidak ingat apa-apa lagi selain gadis cilik, Peri Bunga Empat Warna, Toki, Nek Syn, Pak Liat, dan Bu Peng. Apakah semua kejadian itu hanya mimpi?

Tiba-tiba aku sadar dari tadi tanganku menggenggam sesuatu. Mungkinkah… itu kelopak bunga kuning milik Suli?

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Pradikha Bestari.