Pagi itu murid-murid kelas 6 SD Pelita Indah sedang berkunjung ke kawasan Banten Lama. Namun, bukannya memperhatikan Ibu Yani, guru sejarah mereka, Adhia malah sibuk menunjukkan pena barunya kepada Liana. Pena bergagang mutiara itu harganya mahal sekali.
Orang tua Adhia memang kaya raya. Mereka memberinya banyak sekali uang. Akibatnya, Adhia tidak terlalu menghargai dan menjaga barang-barang miliknya. Seperti kamera digital canggihnya yang dalam seminggu sudah terjatuh ke kolam. Begitu pula rok sutranya yang dengan cepat ketumpahan tinta. Adhia juga tidak segan-segan beli es krim mahal hanya untuk dicicipi sedikit lalu dibuang begitu saja. Liana hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya. Ia sendiri harus amat berhati-hati menggunakan barang-barangnya supaya bisa dipakai selama mungkin. Orang tuanya memang tidak kaya.
“Adhia, Liana, perhatikan, ya,” tukas Ibu Yani sambil menatap tajam ke arah Adhia dan Liana. Adhia langsung berhenti memamerkan penanya.
“Dulu sekali, saat Kesultanan Banten masih berjaya, Pasar Karangantu ini adalah pasar besar. Berbagai barang dijual di sini. Porselen Cina, kain India, selendang-selendang Prancis, rempah-rempah, dan masih banyak lagi,” lanjut Ibu Yani.
“Wah, seru juga,” bisik Adhia di dalam hati, “Sepertinya barangnya bagus-bagus. Coba aku bisa kembali ke masa lalu, bisa belanja barang lucu-lucu, deh.”
***
“Adik mau beli?” tanya seorang pedagang India sambil menyodorkan gelang manik-manik.
Adhia terkejut. Lo, kok? Adhia menoleh kiri kanan dan mendapati dirinya berada di sebuah pasar ramai. Orang-orang di situ berpakaian ala zaman dulu. Ada orang Cina, India, Turki, Prancis, Belanda, dan entah dari mana lagi.
Setelah diamati lebih lanjut, Adhia bisa mengenali kalau sebetulnya dia masih berada di Pasar Karangantu, Banten Lama. Hanya saja, ini seperti Pasar Karangantu zaman dulu, zaman Kesultanan Banten! Entah bagaimana caranya ia bisa sampai di sini.
“Adik, ini kalung mutiara asli dari Laut Mediterania. Cantik sekali. Mau beli?” tanya seorang saudagar dari Turki.
“Mau! Mau!” jawab Adhia penuh semangat. Adhia merogoh saku dan mengeluarkan sebuah dompet kain lusuh. Wah, tidak ada uangnya. Adhia terkejut.
“Saya mau beli,” ucap seorang gadis kecil di samping Adhia. Adhia lebih terkejut lagi sekarang. Gadis kecil itu Liana. Liana mengeluarkan dompet sutra yang terlihat mahal dan penuh lembaran uang.
“Liana?” sapa Adhia ragu. Liana hanya tersenyum sekilas lalu berjalan menyusuri pasar kuno itu.