Pius Tapir sangat suka menyanyi. Sayangnya suaranya tidak merdu. Dia sering ditertawakan oleh teman-temannya. Bahkan saudara-saudaranya pun sering menertawakannya. Pius sangat sedih karena tidak ada yang menyukai suaranya. Dia hanya bisa bernyanyi sendiri di dalam hutan.
Sore itu Pius masuk ke dalam hutan dengan langkah gontai. Dari dalam hutan terdengar suara yang merdu. Seperti nyanyian tetapi tanpa kata-kata. Pius sangat senang mendengarnya. Diam-diam, Pius mencari asal suara itu.
“Aha, itu dia!” bisik Pius ketika mendengar asal suara itu.
Di atas sebuah batu, ada seorang anak yang sedang duduk. Mulutnya mengerucut. Dari situlah keluar alunan lagu itu. Tanpa sadar, pelan-pelan Pius mendekati anak itu.
“Haaaa?! Mau apa kamu?” tanya anak itu.
“Aku suka mendengar suaramu. Merdu sekali,” puji Pius.
“Itu namanya bersiul. Hei, namamu siapa? Aku Rio,” sahut anak itu.
“Aku Pius. Aku dan keluargaku tinggal tak jauh dari sini. Hmmm… Maukah kamu mengajariku bersiul?” pinta Pius.
“Tentu saja! Caranya mudah, kok,” kata Rio sambil mengerucutkan mulutnya.
“Iya. Mudah sekali. Aku pasti bisa,” kata Pius dengan yakin.
Sebelum Pius sempat berlatih, terdengar bunyi gong. Itu tandanya Pius harus pulang. Makan malam akan segera dihidangkan. Bagi yang terlambat datang, tidak kebagian makanan. Begitulah aturan dalam keluarga Pius. Padahal Pius sangat suka makan. Pius pun segera berlari meninggalkan teman barunya.
“Sampai jumpa lagiii…,” teriak Pius sambil berlari pulang.
Hampir saja Pius terlambat. Makan malam telah dimulai. Pius makan dengan riang bersama saudara-saudaranya. Setelah makan malam…
“Kalian harus mendengarkan siulanku,” kata Pius mengumumkan.
“Siulan? Apa itu?” tanya adik Pius.
“Siulan itu lagu tanpa nyanyian,” jawab Pius dengan bangga.
“Oh, tidaaak! Jangan sampai dia menyanyi,” keluh Dius, kakak Pius.
“Dengarkan, ya! Whush….wus…hus,” terdengar suara dari mulut Pius. Suara itu sangat berbeda dengan siulan Rio yang merdu.
“Ini lebih jelek dari nyanyian Pius,” timpal Dius.
Adik-adik Pius tertawa terbahak-bahak mendengar suara yang keluar dari mulut Pius. Mereka tertawa sampai mengeluarkan air mata. Pius kesal sekali. Ia pun segera meninggalkan saudara-saudaranya yang masih tertawa.
Esok paginya, Pius segera berlari menuju hutan. Ia mau mencari Rio, teman barunya yang mengatakan kalau bersiul itu mudah. Tanpa sengaja, Pius tersandung batu. Pius yang sedang kesal bertambah kesal. Kekesalannya memuncak ketika mendengar siulan Rio di kejauhan.
“Rio, katamu bersiul itu mudah. Mana buktinya? Kamu bohong!” omel Pius.
“Ada apa ini? Baru datang, kok, langsung mengomel?” tanya Rio.
“Whush….wus…hus,” terdengar bunyi aneh dari mulut Pius.
Rio berusaha sekuat tenaga supaya tidak tertawa. Dia tidak ingin membuat teman barunya kecewa.
“Hmmm…. Untuk bisa bersiul memang perlu latihan. Kalau sudah bisa, barulah terasa mudahnya. Kita bahkan bisa bersiul sambil berjalan-jalan. Yuk, coba lagi,” hibur Rio.
Setelah mencoba berkali-kali, Pius akhirnya bisa bersiul. Siulan Pius sama merdunya seperti siulan Rio. Pius girang sekali. Dia menyiulkan beberapa lagu. Rio pun mengajarinya beberapa lagu baru.
“Horeee! Terima kasih, Rio,” teriak Pius gembira.
Dengan girang Pius kembali ke rumahnya. Hampir sepanjang jalan ia bersiul. Saudara-saudara Pius mendengar suara siulan Pius yang merdu. Mereka mengintip dari balik semak dan sangat terkejut melihat Pius. Ternyata siulan Pius benar-benar merdu.
“Pius, ternyata siulanmu merdu sekali,” puji Dius.
Pius tersipu-sipu mendengar pujian dari saudara-saudaranya.
“Bagaimana kalau siulannya aku selingi dengan nyanyian?” canda Pius.
“Oh, tidaaak,” serempak saudara-saudaranya menyahut.
Pius makin giat berlatih siul. Siulan merdunya sangat dinikmati oleh saudara-saudaranya. Kadang-kadang ia bersiul bersahut-sahutan bersama Rio. O ya, sekarang Pius tidak suka menyanyi. Ia lebih suka bersiul.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Sylvana Hamaring Toemon.