Selain bintang laut mahkota duri, beberapa aktivitas manusia juga bisa merusak terumbu karang, lo.
Beberapa nelayan masih menangkap ikan dengan pukat, cara ini bisa membuat karang terbabat dan akhirnya rusak. O iya, ada juga nelayan yang menangkap ikan dengan cara diracun. Padahal racun itu akan merusak karang dan membuat ikan tersebut tidak sehat untuk dikonsumsi.
Selain pukat dan racun, ada juga nelayan yang menangkap ikan dengan bom, padahal ledakan bom itu akan merusak terumbu karang. O iya, 80 % karang yang ada di perairan Indonesia telah rusak karena bom untuk menangkap ikan.
Hal lain yang merusak dan menghambat pertumbuhan karang adalah aktivitas pembangunan di sekitar pesisir pantai dan pembuangan limbah pupuk ke laut. Sekadar informasi saja, limbah pupuk itu bisa menyebabkan sedimen di permukaan karang. Padahal, karang memerlukan cahaya matahari penuh agar bisa tumbuh.
Fakta 5 – Perubahan Iklim dan Fungsi Terumbu Karang
Perubahan iklim sudah mulai terasa. Hujan di pertengahan tahun, suhu yang semakin panas, dan perubahan-perubahan lainnya merupakan beberapa efek dari perubahan iklim. Perubahan iklim juga bisa mengganggu terumbu karang, lo, Teman-teman. Perubahan iklim membuat suhu udara dan suhu air naik. Pertambahan suhu air itu bisa membuat karang-karang menjadi pucat.
Selain itu, emisi karbon yang terus bertambah bisa membuat laut menjadi asam dan kehilangan ion karbonat. Jika sudah begitu, pertumbuhan karang pun akan terganggu. Padahal, keberadaan terumbu karang sangat dibutuhkan oleh biota laut untuk dijadikan tempat tinggal atau tempat berkembang biak. Selain itu, terumbu karang juga berperan sebagai pemecah gelombang dan membuat perairan menjadi lebih tenang. Jadi, penduduk yang ada disekitar pesisir pantai akan terlindung dari badai. Besar, kan, manfaat terumbu karang itu?
Nah, Teman-teman, itulah beberapa fakta seputar terumbu karang yang harus kamu tahu. Dengan mengetahui hal ini, semoga kita bisa menjadi salah satu penyelamat terumbu karang Indonesia yang semakin mengkhawatirkan keadaannya.
Teks: Willa, Sumber: WWF-Indonesia, Foto: Ode, Creative Commons, pixabay.com