Putri-putri itu sangat gembira karena kedatangan banyak tamu, kecuali Puteri Pertama. Ia belum siap untuk menikah dan ingin menolak Raja Vasil.
Istana mereka sungguh megah. Dindingnya terbuat dari marmer putih, jendela-jendelanya dari kristal bening, gerbang dan pintu istana terbuat dari pohon ek yang kuat. Di puncak istana, terdapat menara kecil yang terbuat dari emas murni.
Walaupun indah, halaman depan istana itu tampak seram. Terdapat 100 tiang tepat di halaman depan istana itu. Pada 99 tiang di antaranya, tergantung wig yang terbuat dari rambut asli. Rambut itu berasal dari rambut para pangeran yang lamarannya ditolak Puteri Pertama.
Tiang yang ke seratus adalah satu-satunya tiang yang kosong. Maka, jika Raja Vasil ditolak, rambutnya akan digunting untuk dijadikan wig, dan digantung di tiang itu.
Beberapa saat kemudian, Raja Vasil memasuki istana dan berdiri di hadapan keduabelas puteri yang cantik. Sang Raja membungkuk dengan hormat dan berkata, “Putri-putri yang cantik, aku datang ke sini karena ingin meminang salah satu di antara kalian untuk menjadi ratuku.”
Salah satu dari putri itu bertanya, “Siapakah yang kau pilih dari antara kami untuk menjadi mempelai wanitamu?”
“Putri yang pertama,” jawab Raja Vasil.
“Baiklah, kalau begitu,” jawab Putri Pertama. “Kembalilah besok pagi. Jika kamu bisa memilih aku dari antara adik-adikku, aku akan menikahimu. Tetapi jika kau gagal mengenaliku, rambutmu akan kupotong, dan kugantung di tiang itu!” ujarnya lagi sambil tersenyum, dan menunjuk ke seratus tiang di halaman istana.
Raja Vasil menjadi sedih mendengar ucapan Putri Pertama. Ia tidak tahu kalau begitulah sifat Putri Pertama, dan sudah banyak raja yang menjadi korbannya. Raja Vasil lalu kembali ke penginapan, tempat ia dan keduabelas Mikita menginap. Ia lalu menemui Mikita dan menceritakan masalahnya.
“Kenapa nasibku jadi begini. Aku hanya ingin melamar Putri Pertama untuk menjadi permaisuriku. Tapi, dia malah meminta aku mengenali dia dari sebelas saudaranya yang lain. Mereka semua sangat mirip... Rambut, suara, bahkan kecantikan mereka pun sama. Jika aku tidak bisa mengenalinya, dia akan memotong rambutku. Ini hal yang memalukan. Bagaimana aku bisa keluar dari masalah ini?”
“Jangan bersedih, Yang Mulia. Beristirahatlah. Besok, kita pikirkan bersama jalan keluarnya,” hibur Mikita.
Mikita lalu memakai topi ajaibnya dan seketika ia menjadi tidak terlihat. Mikita lalu pergi ke istana keduabelas putri itu. Ia melewati semua jendela ruangan dan aula istana melalui halaman istana. Akhirnya, ia menemukan sebuah ruangan tempat keduabelas puteri itu sedang bercakap. Mikita mendengar percakapan mereka dari bawah jendela.