Srrrk… dari atas lubang pintu muncul sehelai kertas. Astaga, kertas contekan itu lagi! Rupanya kertas itu yang mengenai tengkuk Dido.
Belum hilang kekagetan Dido. Pet! Lampu kamar mandi mati.
“Mas Bagaaas! Papa! Tolooong! Toloooong!” jerit Dido ketakutan. Pintu kamar mandi terbuka. Papa dan Mas Bagas ada di baliknya. Dido berlari keluar dan langsung memeluk mereka berdua.
“Huhuhuu… Dido mengaku! Dido kemarin mencontek waktu ujiaan!” seru Dido berulang-ulang. Papa jelas kebingungan, sementara Mas Bagas malah tersenyum maklum.
Ya, Ami, Sandi, dan Teto memang mengadukan soal kecurangan Dido kepada Mas Bagas. Makanya, ia lalu mengatur agar mereka pergi ke Situ Bagendit. Tindakan Dido tak ubahnya tindakan Nyai Bagendit. Bedanya ia lintah contekan. Kalau Nyai Bagendit memaksa diberi hasil panen, Dido memaksa diberi contekan. Mas Bagas juga yang mencari-cari kertas contekan Dido dan membawanya ke Garut dan menaruhnya menyebar di tempat piknik mereka tadi.
Mendengar pengakuan Dido dan penjelasan Mas Bagas, Papa marah sekali. Sebagai hukuman, liburan Dido akan diisi degan pelajaran tambahan. Dido berjanji untuk tidak mengulangi tindakannya lagi.
Ssstt… Mas Bagas juga tidak luput dimarahi oleh Papa. Soalnya, kan, bahaya bermain-main dengan lintah. Kalau Dido terhisap lintah betulan, bagaimana? Mas Bagas membela diri. Ia hanya memasang lintah mainan di ransel Dido tadi sore. Makanya ia dengan beraninya mengusir lintah-lintah itu.
Wajah Dido langsung memucat. Lalu, bagaimana dengan lintah raksasa di kamar mandi itu? Sayup-sayup, terdengar riak ombak di Situ Bagendit.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Pradikha Bestari.