Cacing Tanah dan Ular

By Sylvana Toemon, Senin, 16 April 2018 | 08:00 WIB
Cacing Tanah dan Ular (Sylvana Toemon)

Dahulu kala, Ular terkenal pandai menyanyi. Suaranya sangat merdu. Setiap hari ia menyanyi, baik siang maupun malam hari. Jika ular menyanyi, semua binatang pasti akan datang mengelilinya. Semua isi huatan bergembira ria mendengarkan suaranya.

Sayangnya, Ular tidak bisa melihat karena ia tidak memiliki mata. Ia tak bisa melihat wajah teman-temannya. Ia juga tidak bis amelihat pemandangan hutan yang indah. Meskipun begitu, Ular tak pernah bersedih hati.

Tak jauh dari rumah Ular, tinggallah seekor cacing tanah. Cacing tanah ini tak pernah puas dengan dirinya. Padahal ia memiliki mata yang sangat indah dan tajam. Yang lebih aneh lagi, setiap kali semua binatang bergembria ria bersama Ular, Cacing Tanah langsung bersembunyi di semak-semak.

Sudah beberapa hari Cengkerik memperhatikan tingkah lalu Cacing Tanah. Karena itu pada suatu hari Cengkerik mendekati kawannya itu.

“Cacing Tanah, mengapa setiap kali Ular menyanyi, kau selalu bersedih hati?”

“Oh, Cengkerik. Aku bersedih hati, karena aku ingin memiliki suara merdu Ular. Aku ingin dapat menyanyi seperti Ular,” sahut Cacing Tanah.

“Cacing Tanah, engkau selalu tak pernah puas dengan dirimu sendiri. Selalu saja engkat menginginkan milik orang lain. Yah, baiklah akan kutanyakan pada Ular, apakah ia mau memberikan usaranya yang merdu itu apdamu,” kata Cengkerik.

Suatu hari, Ular selesai menyanyi. Cengkerik mendekati Ular dan berkata,” Ular, aku kagum mendengar suaramu yang sangat merdu dan indah. Seindah bunga-bunga di hutan ini.”

“ah, kau bisa saja. Kau katakan suaraku seindah bunga-bunga di hutan. Apakah bunga itu sangat indah? Alangkah bahagianya hatiku bila dapat melihat bunga-bunga itu. Aku mau memberikan segala milikku kepada mereka yang dapat membuat mataku melihat.

“Betulkah itu?” tanya Cengekerik tak percaya.

“Benar!” jawab Ular dengan pasti.

“Engkau mau memberikan suaramu yang indah dan merdu itu?