Hadiah Naik Kelas

By Sylvana Toemon, Jumat, 6 April 2018 | 05:00 WIB
Hadiah naik kelas (Sylvana Toemon)

Malam itu suasana di jalan hening sekali. Di luar tak terdengar suara kodok ataupun cengkerik. Hanya kadang-kadang terdengar suara gonggong anjing dan penjual sate menjajakan dagangannya.

Di rumah Pak Tarji pun sepi. Semua sedang asyik. Pak Tarji dengan kacamata yang bertengger di hidungnya asyik membaca. Bu Tarji menjahit. Sedangkan Heri belajar di sudut ruangan. Sekali-sekali tampak ia memainkan jari-jarinya. Dan mulutnya komat-kamit seperti sedang menghafal sesuatu. Mungkin belajar untuk ulangan besok.

"Ada ulangan besok, Her?" tiba-tibaPak Tarji memecah kesunyian, seraya meletakkan korannya.

"lya, Yah!" sahutnyaserayamendekati ayah-ibunya.

"Ulangan IPS! Susahnya! Sejak tadi Heri menghafal nama-nama provinsi dan ibukotanya, selalu saja ada yang salah!" keluhnya.

"Heri, sebenarnya tidak susah, kalau dipelajari dengan sungguh-sungguh. Setiap orang yang ingin pandai, memang harus rajin belajar. Kalau malas mana mungkin cita-citanya dapat tercapai!" tukas ayahnya seraya mengelus-elus kepala anaknya.

"Oh ya, sebentar lagi kenaikan kelas? Bagaimana, nih, anak Ayah dan Ibu? Naik tidak, ya?"

"Beres!" sahut Heri sambil mengerlingkan mata pada ayahnya.

Memang Heri agak manja pada ayah-ibunya. Maklumlah, ia adalah anak tunggal Pak dan Bu Tarji.

"Selama ini ulangan Heri selalu bagus. Yah, Bu kalau Heri naik kelas, diberi hadiah, ya!"

"Hadiah?! Masa belajar harus ada upahnya. Memangnya Heri, Pak Amat si tukang cat. Setelah bekerja minta upah," sahut Ibu seraya meletakkan jahitannya.

"Uuuh, Ibu kuno!" sahut Heri lagi. "Di sekolah teman-teman kalau naik kelas selalu mendapat  hadiah. Ada yang dapat tas baru, sepeda mini. Dan si Agus, kalau naik kelas akan diajak ke Pulau Bali!"

Ayah dan Ibu berpandangan mendengar kata-kata Heri. Lalu mereka menggelengkan kepalanya.

"Heri, belajar itu adalah tugas setiap anak. Ya, agar ia kelak menjadi anak yang pandai. Kalau ia pandai, dia bisa menjadi guru, dokter atau seorang pelukis terkenal," Ibu menerangkan dengan sabar.

"Nah, kau, kan, ingin menjadi dokter hewan seperti Ayah. Dapat menyembuhkan binatang-binatang yang sakit. Waktu Ayah sebesar kau, Ayah tak pernah minta hadiah jika naik kelas!"

"Tapi itu, kan, dulu, Yah! Sekarang, sih, lain!" jawab Heri tak puas. Wajahnya masih saja asam.

"Eeeh, kalau belajar, sih, dari dulu sampai sekarang sama saja," tukas Ayah lagi. "Belajar itu untuk kebaikan diri sendiri. Kalau pandai, diri kita yang pandai. Bukan Ayah, Ibu, Bu Guru atau siapa saja!" tukas Ayah lagi. "Oh yah, sebenarnya Ayah dan Ibu pun mempunyai hadiah istimewa untukmu."

"Hadiah istimewa?" tanya Heri dengan wajah berseri-seri. "Lego, ya! Lego yang bisa dibuat tank dan benteng. Wah, asyik!"

"Bukan! Lebih istimewa dari itu! Teman bermain yang tak akan rrtembosankanmu!" sambung Ibu.

"Ohooo, adik!" pekik Heri seraya mencubit lengan ayahnya.

"lya, sekarang Heri mengerti. Rajin belajar itu menguntungkan diri sendiri dan tak boleh minta hadiah!"

"Nah, itu baru namanya anak Ayah dan Ibu sambil tersenyum.

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Cis.