“Bawa aku sekarang!” perintahnya.
Danish akhirnya menurut. Gembala kecil itu membawa Putri Delila ke dalam hutan, melewati pohon-pohon besar dan semak duri. Bahkan dahan-dahan di atas kepala mereka pun berduri. Duri-duri tajam itu merobek baju dan menusuk lengan mereka sehingga luka dan berdarah. Namun Putri Delila tak mau menyerah. Ia menolak saat Danish mengajaknya kembali.
Akhirnya, mereka tiba di padang rumput lapang di tengah hutan. Rumput di tempat itu sangat tebal bagaikan karpet. Ribuan bunga indah yang belum pernah dilihat Putri Delila sebelumnya, terhampar dengan indahnya.
Putri Delila bahkan belum pernah mendengar suara burung yang seindah di hutan itu. Sinar matahari tampak indah menyinari tempat itu.
“Ini bagaikan surga,” gumam Putri Delila.
Dengan kedua tangannya, ia mencabut bunga sebanyak yang ia mau. Bunga-bunga yang dicabutnya kini sudah memenuhi lengannya. Bahkan sebagian ia titipkan di tas Danish si gembala kecil. Mereka lalu kembali ke istana.
Perjalanan pulang sama buruknya dengan saat kedatangan tadi. Mereka kembali harus melewati semak dan duri. Baju mereka kembali sobek, dan lengan mereka terluka kena duri.
Ketika mereka tiba di tepi hutan, tak ada yang tertinggal kecuali beberapa tangkai bunga. Anehnya, bunga-bunga itu tidak tampak indah dan wangi seperti ketika berada di tengah hutan. Ketika Putri Delila melihat sisa-sisa bunganya, ia menangis kesal dan marah.
“Jangan menangis, Putri,” bujuk Danish. “Aku kan masih punya seikat bunga di tasku,” katanya lagi sambil mengeluarkan seikat bunga dari tasnya.
Namun bunga dari tas Danish itu juga kurang indah bagi Putri Delila. Ia bahkan berpikir Danish menyembunyikan ladang bunga yang terindah untuk diri sendiri.
“Ini bukan bunga yang terindah!” marah Putri Delila. “Dimana kau sembunyikan bunga-bunga indah itu? Bunga indah yang biasa kau sisipkan di topi?”
“Aku tidak sembunyikan apapun,” kata si gembala kecil. “Lihat saja sendiri!”