Legenda Bunga Lili Lembah

By Vanda Parengkuan, Senin, 5 Maret 2018 | 12:00 WIB
Legenda Bunga Lili Lembah (Vanda Parengkuan)

Danish adalah seorang gembala kecil yang sebatang kara. Ia tak punya apapun dan siapapun, kecuali sebuah seruling ajaib. Seruling itu sangat berarti bagi Danish. Itulah harta satu-satunya yang dimilikinya. 

Setiap kali ia memegang seruling itu, ia akan lupa kalau ia tak punya ayah dan ibu. Ketika ia meniupnya, ia akan lupa kalau ia lapar dan haus. Ketika ia memainkannya, hutan menjadi sunyi dan semua hewan akan berhenti berlari. Semua domba yang sedang dijaganya juga akan diam mendengarkan alunan serulingnya. Seruling ajaib itu bahkan bisa membuat semua domba yang lari berbalik kembali padanya.

Danish bertugas menjaga domba-domba milik Raja. Setiap pagi, ia membawa ternak Raja ke padang rumput. Sore harinya, saat akan kembali, ia selalu menyematkan sekuntum bunga di topinya. Bunga itu adalah bunga yang tak ada di taman Raja.

Lama-kelamaan, Putri Delila memerhatikan bunga-bunga yang tersemat di topi Danish itu. Putri raja itu sangat cantik dan Danish suka melihatnya. Putri Delila juga suka melihat Danish, karena ia tertarik pada bunga di topi Danish.

Suatu hari, Putri Delila  diam-diam keluar dari istana. Tak ada yang melihatnya. Ia pergi ke padang rumput dan melihat si gembala sedang memainkan seruling di bawah pohon. Semua hewan duduk dengan tertib mendengarkan musik Danish. Putri Delila juga akhirnya ikut diam mendengarkan alunan seruling yang indah.

Danish akhirnya sadar kalau Putri Delila ada di situ. Ia menjadi malu dan berhenti bermain seruling. Ia membungkuk sopan pada Putri Delila dan menyimpan serulingnya di dalam tas.  

“Putri, ada yang bisa aku bantu? Mengapa Putri ada di padang rumput sendirian?” tanya Danish.

“Aku ingin punya bunga seperti yang tersemat di topimu setiap hari. Dimana tumbuhnya?” tanya Putri Delila galak. 

“Jauh di dalam hutan, Putri,” kata Danish si gembala kecil. “Kalau Putri mau, aku akan memetikkan sebanyak yang Putri inginkan.”

Putri Delila menggelengkan kepala. “Aku akan petik sendiri,” katanya. “Bawalah aku ke sana.”

“Tapi tempat itu sangat jauh, Putri,” kata Danish. “Semakin jauh ke dalam hutan, semakin banyak dan tajam semak berdurinya.”

Akan tetapi Putri Delila tak peduli.

“Bawa aku sekarang!” perintahnya.

Danish akhirnya menurut. Gembala kecil itu membawa Putri Delila ke dalam hutan, melewati pohon-pohon besar dan semak duri. Bahkan dahan-dahan di atas kepala mereka pun berduri. Duri-duri tajam itu merobek baju dan menusuk lengan mereka sehingga luka dan berdarah. Namun Putri Delila tak mau menyerah. Ia menolak saat Danish mengajaknya kembali. 

Akhirnya, mereka tiba di padang rumput lapang di tengah hutan. Rumput di tempat itu sangat tebal bagaikan karpet. Ribuan bunga indah yang belum pernah dilihat Putri Delila sebelumnya, terhampar dengan indahnya.

Putri Delila bahkan belum pernah mendengar suara burung yang seindah di hutan itu. Sinar matahari tampak indah menyinari tempat itu.

“Ini bagaikan surga,” gumam Putri Delila.

Dengan kedua tangannya, ia mencabut bunga sebanyak yang ia mau. Bunga-bunga yang dicabutnya kini sudah memenuhi lengannya. Bahkan sebagian ia titipkan di tas Danish si gembala kecil. Mereka lalu kembali ke istana. 

Perjalanan pulang sama buruknya dengan saat kedatangan tadi. Mereka kembali harus melewati semak dan duri. Baju mereka kembali sobek, dan lengan mereka terluka kena duri.

Ketika mereka tiba di tepi hutan, tak ada yang tertinggal kecuali beberapa tangkai bunga. Anehnya, bunga-bunga itu tidak tampak indah dan wangi seperti ketika berada di tengah hutan. Ketika Putri Delila melihat sisa-sisa bunganya, ia menangis kesal dan marah. 

“Jangan menangis, Putri,” bujuk Danish. “Aku kan masih punya seikat bunga di tasku,” katanya lagi sambil mengeluarkan seikat bunga dari tasnya.

Namun bunga dari tas Danish itu juga kurang indah bagi Putri Delila. Ia bahkan berpikir Danish menyembunyikan ladang bunga yang terindah untuk diri sendiri.

“Ini bukan bunga yang terindah!” marah Putri Delila. “Dimana kau sembunyikan bunga-bunga indah itu? Bunga indah yang biasa kau sisipkan di topi?”

“Aku tidak sembunyikan apapun,” kata si gembala kecil. “Lihat saja sendiri!”

katanya lagi sambil menunjukkan isi tasnya.

Di tas Danish memang tak ada apa-apa lagi kecuali sepotong roti dan serulingnya.

Tangan Putri Delila tiba-tiba meraih seruling itu dan mengeluarkannya dari tas Danish.

“Apa ini?”

“Itu seruling yang aku mainkan tadi,” kata Danish. Ia mengulurkan tangannya untuk mengambil seruling itu lagi.

Namun Putri Delilah mundur dan menyembunyikan seruling itu di belakang punggungnya. Ia berkata,

“Kalau kau tak mau memberi tahu tempat bunga yang terindah di hutan, aku akan ambil seruling ini darimu!”

Putri yang tak pernah puas itu lalu berlari masuk ke dalam kastilnya.

Apa yang bisa dilakukan Danish si gembala kecil itu? Ia hanya berdiri terdiam dengan hati yang sangat sedih. Ia menangis karena merasa jiwanya dicuri.

Kini, ia tak akan pernah bisa memainkan serulingnya lagi. Tak ada yang bisa membuat dia bahagia lagi. Sambil terus menangis, Danish melangkah mengikuti kemana kakinya bergerak. Kini ia tiba di sebuah lembah. Air matanya terus menetes bagaikan embun.

Sampai hari ini, air mata Danish itu masih bisa dilihat. Saat berjalan ke hutan, kita bisa melihat bunga-bunga lili di lembah.  kau akan melihat sendiri ke dalam hutan untuk memetik lili lili dari lembah. Bunga itu berasal dari air mata Danish si gembala kecil.

Teks: Dok. Majalah Bobo / Dongeng Eropa