“Kalian sudah siap?” tanya Lia tersengal-sengal. Ia tergopoh-gopoh menyusul Koko dan Mamat menuju kelas.
“Aku baru ingat hari ini ulangan IPS,” sambung Lia lagi.
“Ampun! Aku lupa,” kata Mamat sambil menepuk kepalanya. “Wah, aku enggak belajar tadi malam,” lanjutnya.
“Apalagi aku,” sambung Koko. Ia anak yang paling malas belajar di antara mereka bertiga.
“Mudah-mudahan aku ingat apa yang aku baca tadi pagi,” seru Lia sambil buru-buru menuju bangkunya. Kedua temannya mengikuti dari belakang.
Sesaat kemudian, ketiga sekawan itu tampak berbisik-bisik. Mereka berencana untuk saling menyontek dengan kode-kode tertentu.
“Lia, kan, tidak bisa melihat kodeku kalau mau bertanya. Ia duduk di depanku,” keluh Mamat.
“Kamu, kan, bisa menyontek padaku,” kata Koko. Mamat duduk tepat di seberangnya.
“Kamu?” tanya Mamat ragu.
“Kamu pikir aku bodoh sekali, ya? Kalau aku tidak bisa, akan kutanyakan pada Lia,” sahut Koko jengkel.
Ketiga anak itu berhenti berbisik-bisik begitu Bu Rosi memasuki kelas. Bu Rosi langsung membagikan soal dan kertas ulangan.
Lima menit kemudian, Koko menekan tombol di ujung pulpennnya tiga kali. Klik klik klik. Lia kemudian menoleh ke arah Koko seolah sedang berpikir. Lia dan Mamat melirik ke arah Koko. Terlihat Koko menunjuk 3 jari di atas meja. Itu artinya ia bertanya soal nomor 3.
Lia segera memberikan jawabannya. Gadis pintar ini meletakkan sebuah penghapus di pinggir meja. Itu pertanda jawabannya adalah C.
Giliran Mamat yang bertanya. Ia memencet tombol di ujung pulpennya. Koko melirik. Mamat bertanya soal nomor 6. Koko menjatuhkan penghapusnya ke lantai. Artinya, jawabannya adalah D.
Lia sendiri menemui kesulitan saat mengerjakan soal nomor 21. Ia yakin jawabannya antara C dan D. Bunyi klik klik klik terdengar dari ujung pulpennnya. Ia menunjuk dengan 2 jari disusul dengan 1 jari lagi.
Koko memberi jawaban dengan memegang kepalanya. Itu artinya jawabannya A. Dahi Lia mengernyit. Ia pun menoleh ke belakang, ke arah Mamah. Mamat sedang memegang telinganya. Itu artinya jawabannya B.
Lia mendengus kesal. Bukannya mendapatkan kepastian jawaban, ia malah dibuat bertambah bingung. Padahal sedari tadi ia telah banyak memberikan jawaban kepada kedua temannya itu. Berkali-kali ia menjatuhkan dan memungut penghapusnya di lantai karena jawaban yang ditanyakan oleh kedua temannya itu kebanyakan D.
Karena capek mengambil kembali penghapusnya di lantai. Lia membuang penghapus lain, lalu pensil-pensil dan penggarisnya. Sekarang, semua alat tulisnya sudah berada di lantai.
Tak berapa lama kemudian, Koko bertanya soal nomor 17. Lia melirik kotak jawabannya lalu menunjuk ke lantai. Serta-merta Koko bangkit dari bangkunya, memungut penghapus Lia di lantai, lalu mengembalikannya.
Lia melirik dengan heran. Sekali lagi ia menunjuk ke lantai. Koko menggerutu dalam hati. Mentang-mentang memberi contekan, Lia seenaknya menyuruh dia memunguti alat-alat tulisnya di lantai. Koko pun meletakkan semua alat tulis Lia ke meja Lia.
Lia melotot ke arah Koko.
“Lia, dari tadi kamu jatuh bangun mengambil alat-alat tulsinya di lantai. Sekarang kamu suruh temanmu mengambilnya,” tegur Bu Rosi.
“Aku tak menyuruhnya. Dia mengambilnya sendiri,” protes Lia.
“Aku kasihan, Bu,” sahut Koko dengan kesal.
Teman-temannya tertawa mendengarnya.
“Ssst, lanjutkan pekerjaan kalian,” perintah Bu Rosi.
Sepanjang sisa waktu, Bu Rosi berdiri dekat bangku Lia. Ketiga sekawan itu tidak dapat melanjutkan saling contek.
Setelah 1 jam berlalu, kertas ulangan dikumpulkan. Di luar kelas, Lia memarahi Koko, “Kenapa kamu malah memunguti barang-barangku?”
“Kamu, kan, menunjuk ke bawah,” jawab Koko merasa tak bersalah.
“Itu untuk jawaban D. Kamu nanya nomor 17, kan?” jawab Lia Sewot.
“Jangan ganti-ganti kode, dong. Aku enggak ngerti,” sahut Koko membela diri.
“Aku bukan ganti kode. Alat-alat tulisku semua sudah di lantai,” kata Lia.
“Makanya kuambilkan,” jawab Koko sengit.
“Huh!” gerutu Mamat.
Ketiga sekawan itu masih terus berdebat sampai terdengar suara Bu Rosi.
“Lia, Koko, Mamat, ayo ikut ke ruang guru,” panggil Bu Rosi.
Di ruang guru, Bu Rosi menanyai mereka bergantian. Tanpa berkelit mereka mengakui saling menyontek. Bu Rosi lega ketiga ketiga anak itu bersikap jujur. Bu Rosi menawarkan ulangan sekali lagi minggu depan tetapi bentuknya lisan. Koko, Lia, dan Mamat mengangguk setuju.
“Kita harus benar-benar belajar. Ulangan lisan jauh lebih susah,” kata Mamat saat keluar dari ruang guru.
“Ah, lebih gampang daripada menghafal kode-kode jawaban. Aku pusing!” kata Koko.
“Lagi pula, Lia enggak perlu jatuh bangun mengambil penghapus di lantai,” ujar Mamat.
“Nanti kita belajar bersama, ya,” ajak Lia.
Ketiga sekawan itu lalu melangkah kembali ke kelas mereka untuk mengikuti pelajaran selanjutnya. Mereka berjanji akan belajar bersama untuk persiapan ulangan susulan yang akan datang.