Cecil tidak terluka. Cuma ekornya melepuh. Ia lari ke kolam angsa untuk mendinginkan ekornya. Sssss... terdengar suara berdesis.
Ketika Mama Papa Cecil pulang kerja, tampak Cecil masih mengenakan piyama, meringkuk di halaman depan. Di belakang nampak rumah mereka yang kini sudah menjadi puing-puing. Kali ini kelakuan Cecil sudah keterlaluan. Mamanya sedih sekali. Dihabiskannya dua puluh satu saputangan untuk mengeringkan air matanya. Papanya marah sekali, wajahnya berubah semerah apel. Diomelinya Cecil lebih setengah jam. Tapi Cecil tidak mendengarkan. Pikirannya menerawang.
Baca Juga: Penguin Kaisar, Penguin yang Rela Tidak Makan untuk Mengerami Telurnya
Akhirnya, ketika omelan Papa selesai, Cecil Naga berkata, "Papa tidak perlu cemas. Hidup kita segera membaik. Tunggu, tidak akan lama lagi."
"Bagaimana mungkin?" Papa kembali meraung, warna mukanya merah padam, seperti buah prem.
"Kau tidak pernah berbuat sesuatu. Kecuali malasmalasan, baca komik, dan bikin rumah pondok kita terbakar!"
Cecil menjawab, "Untuk sementara, Pap dan Mam tinggal di rumah Bibi Lusi. Aku sudah punya rencana. Sebentar lagi aku punya pekerjaan yang luar biasa."
Baca Juga: Unik! Tradisi Yukitsuri Ini Menjaga Pohon saat Musim Dingin di Jepang
Penulis | : | Sarah Nafisah |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR