Raja terkejut mendengar jawaban itu. Raja teringat kepada permaisuri Denawanti yang telah diusirnya. Permaisurinya itu sekarang tinggal di hutan itu bersama petapa Denawamuka.
"Siapa nama kedua orang tuamu?"
"Ibu hamba bernama Denawanti. Hamba tak tahu siapa ayah hamba. Sejak lahir hamba hanya diasuh oleh Ibu dan Kakek Denawamuka," jawab Jaka Wana berpura-pura.
Seketika itu tampak penyesalan di raut wajah Raja Goragangsa. Iba hatinya mengetahui nasib putranya yang hidup terlunta-lunta di hutan.
"Jaka Wana, kau telah memenangkan sayembara. Kau juga telah mengamankan kerajaan dari amuk binatang hutan. Hadiah untukmu bukan jabatan senapati. Melainkan putera mahkota. Kalau kau dewasa nanti, kau akan menggantikanku menjadi raja di sini. Tinggallah di istana. Tidak usah kembali ke hutan Danawa," ujar Raja Goragangsa.
Baca Juga: Dongeng Anak: Kisah Tiga Ekor Ikan #MendongenguntukCerdas
"Mohon ampun, Baginda. Hamba tak bisa meninggalkan Ibu dan Kakek. Mereka sangat menderita di hutan."
"Jangan, Jaka Wana! Tetaplah di sini bersamaku!" seru Raja Goragangsa. Kemarahan Raja pada Denawanti, permaisurinya, mulai luluh. Dulu ia kesal pada ibu Jaka Wana itu. Sebab ternyata Denawanti adalah seorang raksasa yang wajahnya telah diubah menjadi cantik oleh Denawamuka.
Akhirnya Raja Goragangsa memboyong kembali permaisuri Denawanti ke istana. Dan karena cinta dan kasih sayang Denawanti yang sangat tulus kepada suami dan anaknya, permohonannya dikabulkan oleh Dewa. Wajah Denawanti berubah menjadi cantik selamalamanya. Jaka Wana hidup berbahagia dengan kedua orangtuanya di istana. Wre, sahabatnya juga selalu di sampingnya.
Cerita oleh: Ustadji P.W. Ilustrasi: Dok. Majalah Bobo
#MendongenguntukCerdas
----
Ayo, kunjungi adjar.id dan baca artikel-artikel pelajaran untuk menunjang kegiatan belajar dan menambah pengetahuanmu. Makin pintar belajar ditemani adjar.id, dunia pelajaran anak Indonesia.
Menuju Dua Dekade, National Geographic Indonesia Gelar Pameran Foto Sudut Pandang Baru Peluang Bumi
Penulis | : | Sarah Nafisah |
Editor | : | Sarah Nafisah |
KOMENTAR