Bobo.id - Teman-teman sudah tahu manfaat mendongeng, kan? Mendongeng bisa membuat kita menjadi cerdas.
Nah, hari ini ada dongeng anak yang berjudul Getar Gong Gora.
Jangan lupa untuk membaca dongeng atau minta orang tuamu untuk mendongeng untukmu, ya!
-----------------------------
Baca Juga: Dongeng Anak: Si Cantik yang Tidak Pernah Bicara #MendongenguntukCerdas
Jaka Wana tinggal di hutan Danawa bersama ibu dan kakeknya. Jaka Wana berparas tampan. Namun ibu dan kakeknya berwajah raksasa. Meskipun masih anak-anak, Jaka Wana sangat sakti. Ia bisa mengangkat batu atau batang pohon besar. Ia juga mengerti bahasa setiap hewan.
Suatu hari Jaka Wana menghadap ibu dan kakeknya.
"Ibu dan Kakek! Sudah lama saya mengamati seluruh hewan di hutan ini. Saya mendengar percakapan mereka. Seekor burung beo berkata bahwa aku punya ayah. Lalu seekor kijang berkata ayahku seorang raja."
Ibu dan kakek Jaka Wana mulai cemas mendengar kata-kata itu. Jaka Wana melanjutkan ceritanya,
"Seekor kancil bercerita, waktu Ibu mengandung, Ibu diusir Ayah dari kerajaan. Ayah merasa ditipu oleh Ibu, karena dengan pertolongan Kakek, wajah Ibu dijelmakan menjadi cantik seperti bidadari. Ayah tertarik pada kecantikan Ibu, lalu melamar Ibu sebagai permaisuri. Pada malam bulan pumama, Ayah mengetahui wajah Ibu yang asli. Ayah marah, lalu mengusir Ibu. Kemudian ..."
Baca Juga: Suka Nonton YouTube? Simak Tips Memilih Konten yang Tepat dan Cara Mengunduh Videonya
"Sudah, sudah! Hentikan katakatamu, Anakku!" Ibu Jaka Wana tak kuat menahan sedihnya. Air matanya menetes membasahi pipinya.
"Cucuku, Jaka Wana. Memang benar cerita hewan-hewan itu. Tetapi lupakan saja semuanya itu. Kau sudah cukup bahagia tinggal di sini bersama Ibu dan kakekmu."
Namun Jaka Wana ingin bertemu ayahnya, Raja Goragangsa. Maka pada suatu senja bulan pumama, diam-diam ia meninggalkan hutan. Ia ditemani Wre, sahabatnya, seekor kera.
Sampailah Jaka Wana dan Wre di Kerajaan Goragangsa. Saat itu Raja Goragangsa sedang mengadakan sayembara. "Raja mengadakan sayembara apa?" tanya Jaka Wana kepada seseorang yang turut berjubel di alun-alun menonton sayembara.
Baca Juga: Mengenal Dongeng, Mulai dari Pengertian hingga Unsur Pembentuknya
"Sayembara memukul Gong Gora tiga kali. Gong raksasa yang terletak di atas menara itu! Sejak zaman kakek raja, belum pernah ada yang berhasil memukul gong itu sampai tiga kali. Pemukulnya saja sebesar batang pohon kelapa yang paling besar," kata penonton lainnya.
"Yang berhasil akan dijadikan senapati kerajaan," kata orang lainnya.
Mendengar itu, Jaka Wana menjadi tertarik. la mendaftarkan diri pada petugas kerajaan. Hampir saja ia tak diizinkan ikut, sebab ia masih anak-anak. Peserta dewasa saja banyakyang gagal.
Giliran Jaka Wana pun tiba. Ia mengayunkan pemukul besar itu ke Gong Gora. Gong itu pun berbunyi. Bergetar. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Riuh tepuk tangan menyambut keberhasilan Jaka Wana.
Namun tak lama setelah getar gong berhenti, bumi seperti dilanda gempa. Ternyata tiga kali bunyi Gong Gora mengakibatkan hewan-hewan besar di hutan beramai-ramai masuk wilayah kerajaan. Mereka mengamuk. Orang-orang ketakutan, berlari menyelamatkan diri.
"Hentikan hewan-hewan itu!" perintah raja kepada para prajurit. Namun para prajurit tak berhasil. Akhirnya raja meminta Jaka Wana untuk menaklukkan hewan-hewan itu.
Jaka Wana mampu berbahasa hewan. Ia bercakap-cakap dan memberi penjelasan pada hewanhewan itu. "Raja Goragangsa mengadakan sayembara membunyikan gong raksasa. Maafkan kami jika bunyi gong tadi membuat kalian risau," ujar Jaka Wana lembut pada hewan-hewan itu.
Baca Juga: Banyak Ditemukan dalam Cerita Dongeng, Apakah Naga Benar-Benar Ada?
Rupanya, dahulu kala, kakek Raja Goragangsa suka berburu hewan di hutan. Gong Gora selalu dipukul tiga kali sebagai tanda dimulainya perburuan. Itu sebabnya, kali ini, ketika mendengar bunyi Gong Gora, semua hewan menyerbu ke wilayah kerajaan. Mereka bermaksud menyerang lebih dulu sebeium diburu prajurit kerajaan.
Jaka Wana menyuruh para hewan kembali ke hutan dengan tertib. Raja Goragangsa kagum pada kemampuan Jaka Wana.
"Wahai, bocah tampan yang sakti. Siapakah namamu?"
"Nama hamba Jaka Wana, Baginda."
"Darimana asalmu?"
"Dari hutan Danawa, Baginda."
Raja terkejut mendengar jawaban itu. Raja teringat kepada permaisuri Denawanti yang telah diusirnya. Permaisurinya itu sekarang tinggal di hutan itu bersama petapa Denawamuka.
"Siapa nama kedua orang tuamu?"
"Ibu hamba bernama Denawanti. Hamba tak tahu siapa ayah hamba. Sejak lahir hamba hanya diasuh oleh Ibu dan Kakek Denawamuka," jawab Jaka Wana berpura-pura.
Seketika itu tampak penyesalan di raut wajah Raja Goragangsa. Iba hatinya mengetahui nasib putranya yang hidup terlunta-lunta di hutan.
"Jaka Wana, kau telah memenangkan sayembara. Kau juga telah mengamankan kerajaan dari amuk binatang hutan. Hadiah untukmu bukan jabatan senapati. Melainkan putera mahkota. Kalau kau dewasa nanti, kau akan menggantikanku menjadi raja di sini. Tinggallah di istana. Tidak usah kembali ke hutan Danawa," ujar Raja Goragangsa.
Baca Juga: Dongeng Anak: Kisah Tiga Ekor Ikan #MendongenguntukCerdas
"Mohon ampun, Baginda. Hamba tak bisa meninggalkan Ibu dan Kakek. Mereka sangat menderita di hutan."
"Jangan, Jaka Wana! Tetaplah di sini bersamaku!" seru Raja Goragangsa. Kemarahan Raja pada Denawanti, permaisurinya, mulai luluh. Dulu ia kesal pada ibu Jaka Wana itu. Sebab ternyata Denawanti adalah seorang raksasa yang wajahnya telah diubah menjadi cantik oleh Denawamuka.
Akhirnya Raja Goragangsa memboyong kembali permaisuri Denawanti ke istana. Dan karena cinta dan kasih sayang Denawanti yang sangat tulus kepada suami dan anaknya, permohonannya dikabulkan oleh Dewa. Wajah Denawanti berubah menjadi cantik selamalamanya. Jaka Wana hidup berbahagia dengan kedua orangtuanya di istana. Wre, sahabatnya juga selalu di sampingnya.
Cerita oleh: Ustadji P.W. Ilustrasi: Dok. Majalah Bobo
#MendongenguntukCerdas
----
Ayo, kunjungi adjar.id dan baca artikel-artikel pelajaran untuk menunjang kegiatan belajar dan menambah pengetahuanmu. Makin pintar belajar ditemani adjar.id, dunia pelajaran anak Indonesia.
Penulis | : | Sarah Nafisah |
Editor | : | Sarah Nafisah |
KOMENTAR