Bobo.id - Bunga Kemuning, sudah menjadi salah satu tumbuhan yang langka ditemukan akhir-akhir ini.
Bunga ini biasanya dimanfaatkan sebagai tanaman hias karena keindahannya.
Tidak hanya keindahannya, bagian batang bunga kemuning sering digunakan untuk bahan kerajinan tangan.
Baca Juga: Makna Tradisi Kalung Bunga di India
Daun bunga kemuning yang lebat juga dimanfaatkan sebagai perindang jalan.
Bunga dengan nama latin Muraya Paniculata ini ternyata memiliki nilai budaya untuk masyarakat Yogyakarta, lo. Khususnya daerah Keraton Yogyakarta.
Seperti apa nilai budaya yang dimaksud? Yuk! Kita cari tahu.
Walaupun langka, bunga Kemuning masih dapat ditemukan di lingkungan Keraton Yogyakarta.
Masyarakat Yogyakarta pun masih sering menggunakannya sebagai salah satu komponen untuk upacara-upacara adat.
Ternyata, bunga kemuning memiliki makna dan filosofi yang baik.
Kemuning, menjadi lambang kebaikan dan kesucian.
Tidak heran, bunga kemuning ini sering digunakan dalam upacara pernikahan di Yogyakarta.
Baca Juga: Inilah Legenda Peri Amarilis dan Asal Usul Munculnya Bunga Amarilis
Pada upacara pernikahan, bunga kemuning digunakan untuk campuran lulur bagi calon pengantin.
Sesuai dengan kecantikan bunga ini, diharapkan lulur tersebut memberi kesan cantik kepada pemakainya.
Wah, banyak manfaatnya, ya, teman-teman.
Melambangkan kebaikan, bunga ini ternyata menjadi pengingat Masyarakat Keraton Yogyakarta untuk selalu berbuat baik.
Baca Juga: Berencana Mengunjungi Keraton Yogyakarta? Patuhi Peraturan Ini, ya!
Banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil dari bunga yang mungil ini, teman-teman.
Maka dari itu, kalau teman-teman melihat bunga ini, jangan sampai dirusak, ya!
Jagalah dan lestarikan lingkungan kita.
Jangan lupa selalu berbuat baik, seperti lambang dari bunga kemuning ini.
----
Ayo, kunjungi adjar.id dan baca artikel-artikel pelajaran untuk menunjang kegiatan belajar dan menambah pengetahuanmu. Makin pintar belajar ditemani adjar.id, dunia pelajaran anak Indonesia.
Source | : | Dinas Kebudayaan Yogyakarta,Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Yogyakarta |
Penulis | : | Grace Eirin |
Editor | : | Sarah Nafisah |
KOMENTAR