Tindakan perburuan satwa liar, termasuk satwa yang dilindungi telah diatur oleh hukum, yaitu Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Adapun Undang-Undang No 5 Tahun 1990 pasal 21 ayat 2 berbunyi, "Setiap orang dilarang untuk:
a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dilindungi".
Baca Juga: Apa Saja Faktor Penyebab Hewan di Alam Liar Mengalami Kepunahan?
Oleh karena itu, orang yang melanggar aturan hukum tersebut dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Aturan hukuman terhadap perburuan hewan yang dilindungi ini tercantum pada Pasal 40 Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Selain perburuan hewan, perluasan perkebunan kelapa sawit juga menjadi pendorong utama di balik hilangnya hampir 20 persen habitat mereka antara tahun 2000 dan 2012.
Perluasan perkebunan sawit ini dilakukan dengan mengalihkan lahan hutan, yang merupakan habitat harimau Sumatra, menjadi lahan perkebunan.
Bisa Mengisi Waktu Liburan, Playground Berbasis Sains Interaktif Hadir di Indonesia!
Penulis | : | Grace Eirin |
Editor | : | Sarah Nafisah |
KOMENTAR