Bobo.id - Apakah teman-teman pernah pergi menginap ke rumah sanak saudara? Biasanya kita menginap ke rumah saudara yang sebaya agar bisa bermain bersama.
Meskipun seru bisa bertemu dan bermain dengan saudara yang jarang kita temui, tapi terkadang kita akan merasa merindukan rumah.
Mulai dari rindu kebiasaan bersama kakak dan adik, hingga rindu pada ayah dan ibu kita. Kalau sudah seperti ini, biasanya kita jadi tak sabar ingin segera kembali ke rumah.
Siapa yang pernah mengalaminya? Kalau pernah, ternyata hal ini juga dialami oleh Oni pada cerpen anak hari ini.
Ia yang semula senang berada di rumah tantenya, jadi mulai merindukan rumah. Terutama rindu pada ayahnya.
Simak kisah selengkapnya di sini, yuk!
Aku Rindu Ayah
Cerita oleh: Santi Hendrawati.
Saudaraku ada tujuh orang. Ditambah aku, Ayah, dan Ibu jumlahnyajadi sepuluh orang. Banyak, ya? lya, makanya suasana rumah kami selalu riuh rendah. Gelak tawa, rengek tangis, omelan, atau nyanyian, silih berganti. Suasana rumah tidak pernah lengang, kecuali bila Ayah di rumah.
"Titi, turunkan sikutmu dari meja!" perintah Ayah sewaktu makan bersama.
“Ya, Ayah," jawab Titi, kakakku dengan manis.
Baca Juga: Cerpen Anak: Harta Karun Datuk #MendongenguntukCerdas
"Jangan bicara selagi makan, Oni!" tegur Ayah padaku.
"Baik, Ayah!" jawabku dengan patuh.
Itu sebagian aturan yang diberlakukan Ayah di meja makan. Aturan yang membuat suasana saat makan bersama terasa hikmat seperti saat upacara bendera di sekolah. Belum lagi aturan-aturan rumah lainnya. Duh, ampuuuunn, banyak sekali. Makanya, kalau Ayah di rumah, rumah jadi lengang.
Ayah punya seorang adik perempuan, kupanggil Tante Dita. Tante Dita tinggal di Semarang. Suasana rumah Tante Dita sangat berbeda dengan suasana rumahku. Soalnya, penghuni rumah Tante Dita tidak banyak. Anaknya cuma satu, sebaya denganku, namanya Tati.
"Sabtu ini ibumu mau ke Semarang, menengok Nenek di rumah Tante Dita. Kamu temani Ibu, mau?" tanya Ayah padaku, seusai makan malam. Aku terkesiap.
Adikku protes, "Kok Kak Oni boleh ke Semarang, aku tidak!"
"Kak Oni ulangannya bagus-bagus minggu ini, jadi dia dapat hadiah," jawab Ayah dengan tenang.
Adikku Eti cemberut.
"Kamu tidak mau, Oni?" tanya Ayah.
"Eh, mau, mau, Ayah!" jawabku cepat-cepat.
Ah, Ayah! Kalau aku tidak segera menjawab bukan karena aku menolak, tetapi aku terlalu gembira. Sudah lama aku ingin berlibur ke Semarang, di rumah Tante Dita. Ohoho, di sana tak ada macam-macam aturan ketat. Semula kami berencana hanya tinggal dua hari di Semarang, hari Sabtu dan Minggu. Ternyata, Nenek masih rindu padaku. Nenek meminta kami tinggal dua hari atau tiga hari lagi.
Baca Juga: Cerpen Anak: Lelaki Berkacamata #MendongenguntukCerdas
"Lo, Oni harus sekolah, Bu!" Ibu memberi alasan.
"Aku masih ingin bersama cucuku. Minta izin pada Bu Guru untuk bolos sehari lagi saja," ujar Nenek, ringan.
Ibuku kelihatan hendak membantah. Wah, apa kata Ayah nanti? Aku tak berani komentar. Aku, sih, mau saja berapa lama pun tinggal di rumah Tante Dita. Soalnya, segalanya serba menyenangkan. Tidak ada aturan begini, begitu! Mana mungkin Ibu menolak permintaan nenekku yang sudah hampir delapan puluh tahun itu? Jadilah, kami memperpanjang tinggal di rumah Tante Dita.
Ternyata, perpanjangan tinggal bukan cuma satu dua hari seperti permintaan Nenek semula. Sekarang ini sudah memasuki hari keempat!
Wah, wah, bagaimana sekolahku? Ibu bolak-balik telepon ke rumah, tapi Ayah masih dinas di luar kota. Duh, duh, aku mulai resah. Perlahan, kegembiraanku surut. Tetapi aku tidak berani mengeluh pada Ibu. Sebab kulihat setiap hari Ibu keletihan merawat Nenek. Hebatnya, Ibu tidak pernah mengeluh. Malah Ibu berkata, "Begitulah kalau sudah tua. Kita harus maklum, makin tua orang cenderung bertingkah seperti kanak-kanak."
Oh, begitukah?
Perlahan juga aku mulai merasakan ada sesuatu yang hilang dari keseharianku. Sebelum makan, aku terpaksa berdoa sendiri. Padahal biasanya aku berdoa bersama adik dan kakakku.
Tati berdoa juga sebelum makan. Tetapi Tati lebih suka makan di kamar tidur, atau di teras rumah, sendirian. Yang tidak enaknya lagi, sewaktu lidah menyentuh makanan lezat...tak ada teman yang bisa diajak bertukar pandang girang. Begitupun saat kecewa dengan makanan yang tidak enak rasanya. Tak ada teman untuk saling bertoleh dan mencibirkan bibir. Belum lagi kerinduanku pada teman-teman sekelas. Hoi, aku rindu bermain bersama mereka. Rinduuu
Ah, ternyata Ibu tahu perasaanku. Siang itu, waktu aku duduk di bawah pohon mangga di halaman depan rumah Tante Dita, Ibu mendekati.
“Tak usah sedih, besok kita pulang!" kata Ibu sambil mengelus rambutku.
"Oh?" aku menatap Ibu.
Baca Juga: 3 Tokoh Bertubuh Mungil dalam Dongeng, Ada yang Ukurannya Sebesar Ibu Jari! #MendongenguntukCerdas
"Terima kasih, kamu bersedia berkorban, Oni. Mau bersabar, ikut menunggui Nenek. Ayah sudah memberi tahu wali kelasmu," kata Ibu.
Kudekap Ibu lekat-lekat. Ibu membalas dekapanku dengan mesra. Dekapan yang menunjukkan bahwa Ibu mengerti kegelisahan dan kerinduanku.
"Ya, ya, di rumah selalu ramai dan gaduh," kata Ibu. "Kamu selalu punya seseorang untuk bercanda dan tertawa, menangis atau saling menggoda. Di sini, semua serba sendiri. Bagaimanapun, kalau ada banyak orang, harus ada aturan... supaya segalanya berjalan tertib...." Ibu tersenyum manis.
Ah, ya, ya, aku menarik napas. Lega. Begini rupanya perbedaan rumahku dengan rumah Tante Dita, batinku. Tante Dita dan keluarganya memang baik padaku. Tetapi sosok seperti Ayah? Yang disiplin dan tegas seperti tentara, yang bisa menciptakan suasana rumah lengang atau gaduh tak terkira, hanya ada di rumahku.
"Oh, aku ingin cepat pulang, Bu. Aku rindu Ayah," kataku sambil mendekap ibuku sekali lagi.
#MendongenguntukCerdas
Baca Juga: Cerpen Anak: Pahlawan Idola #MendongenguntukCerdas
Tonton video ini, yuk!
----
Ingin tahu lebih banyak tentang pengetahuan seru lainnya, dongeng fantasi, cerita bergambar, cerita misteri, dan cerita lainnya? Teman-teman bisa berlangganan Majalah Bobo.
Untuk berlangganan, teman-teman bisa mengunjungi Gridstore.id.
Penulis | : | Sarah Nafisah |
Editor | : | Sarah Nafisah |
KOMENTAR