Pada suatu hari, ketika sedang memancing, mereka berhasil menangkap seekor ikan besar. Ketika melihat mata sedih ikan besar itu, mereka tidak tega memakannya.
Maka, mereka pun membuat kolam besar di samping gubuk baru mereka. Ikan itu mereka pelihara dan beri makan dengan baik.
Suatu waktu, tibalah musim panen. Mereka kembali ke desa dan pergi mengumpulkan sisa beras di tempat penumbukan padi.
Pondok sederhana mereka di dekat sungai, mereka tinggalkan kosong. Pada saat itu, datanglah perampok.
Karena kesal karena tak ada barang berharga di situ. Ketika melihat ikan besar di kolam samping rumah, mereka segera menangkap ikan itu. Mereka lalu memasak ikan itu dan memakannya sampai tinggal sisik dan tulangnya.
Betapa sedihnya Tiing dan Glagah melihat ikan kesayangan mereka telah mati. Sambil menangis mereka berkata, "Oh dewa, tega sekali mereka yang membunuh ikan kesayangan kami…”
Keesokan harinya, Tiing mengajak Glagah untuk pindah rumah. "Ke mana engkau pergi, ke aku turut!" kata Glagah.
Maka berangkatlah mereka meninggalkan desa mereka itu dengan membawa tulang dan sisik si ikan besar.
Di tengah jalan, mereka menemukan sebuah padang rumput indah. Mereka berhenti dan mendirikan pondok di tepi padang rumput itu. Sisik dan tulang ikan mereka tanam di halaman rumah mereka.
Anehnya, di tempat mereka menanam sisik dan tulang ikan itu, tumbuh sebatang pohon berdaun emas yang amat besar.
Dengan menjual daun-daun emasnya, kedua kakak beradik itu dapat hidup berkecukupan.
Baca Juga: Dongeng Anak: Penjahit Keliling yang Ceria #MendongenguntukCerdas
Penulis | : | Sarah Nafisah |
Editor | : | Sarah Nafisah |
KOMENTAR