Bobo.id - Cultuurstelsel atau Tanam Paksa adalah salah satu kebijakan yang dibuat pemerintah kolonial Belanda bagi rakyat Indonesia.
Tujuan utamanya yaitu memperbaiki kas negara yang terkuras untuk membiayai Perang Jawa serta melunasi utang.
Pada beberapa waktu lalu, teman-teman telah mengenal tokoh di balik pemberlakuan Tanam Paksa ini, yaitu Johannes van Den Bosch.
Adapun tanam paksa dilaksanakan dengan mewajibkan setiap petani desa untuk menyisihkan 20 persen tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor yang ditentukan oleh Belanda.
Dari ketentuannya, kita dapat mengetahui bahwa Cultuurstelsel memberatkan petani Indonesia.
Pada pelajaran Sejarah untuk SMP, terdapat pertanyaan berbunyi, apa dampak negatif pelaksanan cultuurstelsel bagi petani Indonesia?
Yuk, temukan kunci jawaban pertanyaan tersebut dari penjelasan berikut ini!
Ketika Cultuurstelsel berlaku, petani harus menanam komoditas ekspor berupa kopi, teh, nila, dan tebu, di samping menanam padi.
Padi ditanam untuk memenuhi kebutuhan pangan kalangan sendiri dan masyarakat di sekitar.
Sedangkan penanaman komoditas ekspor dimanfaatkan untuk dijual ke berbagai negara, dengan keuntungan yang diambil Belanda sendiri.
Hal ini membuat tenaga dan pikiran petani Indonesia terpecah, karena harus menanam beberapa jenis tanaman dalam satu waktu yang sama.
Baca Juga: Siapa Tokoh Belanda yang Menerapkan Sistem Tanam Paksa di Nusantara?
Petani yang seharusnya bisa fokus menanam padi untuk kebutuhan mereka sendiri, menjadi terhambat karena ketentuan Cultuurstelsel tersebut.
Dengan ketentuan menyisihkan 20 persen tanah untuk ditanami komoditas ekspor tentu saja memberatkan petani.
Jika lahan persawahan milik petani sudah ditanami padi, maka mereka harus merelakan lahan tersebut dialihfungsikan.
Selain itu, tanaman tebu memiliki karakteristik membutuhkan air yang banyak, sehingga petani semakin kesulitan mencari irigasi.
Meski ketentuan awalnya, hanya sekitar 20 persen tanah yang diminta oleh Belanda untuk ditanami komoditas ekspor, masih terjadi korupsi dalam pelaksanaannya.
Petani dicurangi oleh pihak-pihak tertentu, sehingga tanah yang diminta bisa melebihi seperlima, misalnya sekitar sepertiga dan setengah bagian.
Penyebab terjadinya penyelewengan adalah karena tingginya target yang ditetapkan oleh penguasa lokal dari bupati hingga pejabat di bawahnya.
Pelaksanaan Cultuurstelsel ternyata juga berdampak pada kebutuhan petani untuk menghidupi hewan-hewan ternaknya.
Sebab, hewan ternak tidak hanya digunakan untuk membantu pekerjaan di ladang dan lahan pertanian, melainkan juga sebagai alat angkut tanaman ekspor.
Ini berarti hewan ternak bekerja lebih keras daripada tugas aslinya, sehingga petani harus menyediakan makanan yang lebih banyak.
Petani sudah mengeluarkan banyak biaya untuk mengelola lahan, namun harus meningkatkan biaya lagi untuk hewan ternak.
Baca Juga: Faktor yang Melatarbelakangi Belanda Menerapkan Sistem Tanam Paksa di Indonesia
Kegiatan Cultuurstelsel juga menyebabkan terjadinya bencana kelaparan di Cirebon, Demak, dan Grobogan.
Selain kelaparan, para petani dan masyarakat juga mengalami wabah penyakit yang mudah menyebar, sehingga angka kematian semakin tinggi.
Sebab, menurut Lembaran Negara (Staatsblad) Tahun 1834 No.22, Cultuurstelsel juga berlaku bagi masyarakat non petani.
Penduduk yang bukan petani, diwajibkan bekerja di perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari dalam satu tahun.
Nah, itulah beberapa dampak negatif pelaksanaan cultuurstelsel bagi petani Indonesia.
----
Kuis! |
Berapa banyak tanah yang diminta Belanda menurut aturan Cultuurstelsel? |
Petunjuk: cek di halaman 1! |
Lihat juga video ini, yuk!
----
Ingin tahu lebih banyak tentang pengetahuan seru lainnya, dongeng fantasi, cerita bergambar, cerita misteri, dan cerita lainnya? Teman-teman bisa berlangganan Majalah Bobo.
Untuk berlangganan, teman-teman bisa mengunjungi Gridstore.id.
Ikuti juga keseruan rangkaian acara ulang tahun Majalah Bobo yang ke-50 di majalah, website, dan media sosial Majalah Bobo, ya! #50TahunMajalahBobo2023
Penulis | : | Grace Eirin |
Editor | : | Sarah Nafisah |
KOMENTAR