Bobo.id - Penyimpangan Pancasila terjadi pada masa awal kemerdekaan hingga orde baru.
Berdasarkan pengertiannya, penyimpangan Pancasila merupakan praktik penerapan nilai-nilai Pancasila yang tidak berjalan sesuai yang diharapkan.
Seperti yang teman-teman sudah pelajari, Pancasila sila ke-4 mengandung nilai demokrasi dan musyawarah.
Artinya, penyimpangan terhadap Pancasila juga dapat berpengaruh besar bagi berlangsungnya demokrasi di suatu negara.
Pada artikel sebelumnya, kita telah mempelajari faktor yang menyebabkan terjadinya penyimpangan Pancasila di Indonesia.
Pada pelajaran PPKn kali ini, kita akan belajar menyebutkan bentuk penyimpangan Pancasila dalam penyelenggaraan Pemilu pada masa orde baru.
Yuk, temukan kunci jawaban pertanyaan di atas dari penjelasan berikut ini!
Masa Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto dimulai dari 1966 hingga 1998.
Munculnya Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) menjadi titik awal dimulainya kekuasaan Orde Baru.
Dalam Supersemar, Soekarno menunjuk Soeharto melakukan segala tindakan demi keamanan, ketenangan, dan stabilitas politik.
Masa orde baru berakhir pada saat Soeharto mundur sebagai presiden Indonesia karena kehilangan kepercayaan rakyat.
Baca Juga: Mengapa Penyimpangan terhadap Pancasila Bisa Terjadi? Ini Faktor Penyebabnya
Ada beberapa bentuk penyimpangan Pancasila dalam penyelenggaraan pemilu pada masa orde baru. Berikut ini di antaranya.
Bersumber dari laman kemdikbud.go.id, pelaksanaan pemilu pada masa orde baru berlangsung sebanyak enam kali.
Adapun penyelenggaraannya terjadi pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Pada pemilu tahun 1971, ada 10 partai politik yang menjadi peserta. Namun, pada tahun 1977 sampai 1997, pemilu hanya diikuti oleh tiga partai politik.
Selama pelaksanaan pemilu tersebut hanya satu partai yang selalu mendapatkan suara terbanyak.
Dalam Pancasila, demokrasi merupakan bentuk kebebasan rakyat dalam berpendapat dan menyatakan aspirasinya untuk kemajuan pemerintahan dan negara.
Pemilu yang hanya didominasi oleh tiga partai politik ini bertentangan dengan tujuan demokrasi menurut Pancasila.
Sebab, rakyat tidak mendapatkan kesempatan untuk membentuk partai politik lain dan menang dari partai politik tertentu.
Baik sekarang maupun pada saat pemerintahan orde baru berlangsung, masa jabatan Presiden diatur berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.
Namun, sebelum UUD 1945 mengalami amandemen, presiden dapat menjabat kembali setelah 5 tahun masa jabatan, tanpa ada batasan periode jabatan.
Oleh karena itu, Presiden Soeharto dapat menjabat selama 32 tahun, karena terus menang dalam pemilu.
Baca Juga: Bentuk Penyimpangan terhadap UUD 1945 pada Masa Demokrasi Terpimpin
Ini merupakan bentuk penyimpangan Pancasila sila keempat, yang seharusnya memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menentukan pilihannya dalam pemilu.
Jika diperhatikan, sebenarnya tidak mungkin selama puluhan tahun, hanya ada satu partai politik yang menang.
Pada kenyataannya, kemenangan partai politik ini memang disengaja dengan mewajibkan seluruh pegawai negeri melakukan pemilihan terhadap partai tersebut.
Saat ini, pelaksanaan pemilu harus sesuai asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Namun, pada masa pemerintahan orde baru, pemilu tidak sesuai dengan asas di atas, karena adanya tindak nepotisme.
Nepotisme adalah kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah.
Akibat dari pemilu tidak demokratis ini yaitu terpilihnya Presiden Soeharto sebagai presiden selama 32 tahun.
----
Kuis! |
Apa penanda dimulainya orde baru? |
Petunjuk: cek di halaman 1! |
Lihat juga video ini, yuk!
----
Ingin tahu lebih banyak tentang pengetahuan seru lainnya, dongeng fantasi, cerita bergambar, cerita misteri, dan cerita lainnya? Teman-teman bisa berlangganan Majalah Bobo.
Untuk berlangganan, teman-teman bisa mengunjungi Gridstore.id.
Ikuti juga keseruan rangkaian acara ulang tahun Majalah Bobo yang ke-50 di majalah, website, dan media sosial Majalah Bobo, ya! #50TahunMajalahBobo2023
Penulis | : | Grace Eirin |
Editor | : | Sarah Nafisah |
KOMENTAR