Seperti biasa, Geng LOTRIA sedang berkumpul dengan gaduh di rumah pohon Taras.
"Ssst!!!" tiba-tiba Kiria meletakkan telunjuknya di depan bibir. Geng LOTRIA yang lain ikut terdiam. Lantunan suara biola yang luar biasa indah pun terdengar lirih.
"Woooww...," Ota berbisik kagum.
"Oh, itu Tabitha, sepupuku sedang berlatih main biola untuk perlombaan besok," jelas Taras kalem.
"Lomba? Maksudmu lomba main musik tingkat nasional yang eksklusif dan penuh dengan bintang tamu artis terkenal besok itu?" tanya Luna.
"Iya," Taras mengangguk. Luna, Kiria, dan Ota menatap Taras dengan penuh harap. "Kenapa?" tanya Taras agak bingung. "Kalian mau ikut nonton?"
Serentak sisa anggota Geng LOTRIA mengangguk kuat-kuat. Taras berpikir sejenak. "Baiklah," gumamnya. "Tabitha memang minta aku ikut nonton. Aku rasa dia tidak akan keberatan kalau kalian juga ikut."
***
Geng LOTRIA berangkat ke tempat perlombaan dengan naik mobil limosin Taras yang super keren.
"Mau minum apa?" tanya Kiria sambil membuka lemari es yang terdapat di dalam mobil.
"Jus apel," sahut Luna.
"Susu cokelat," sahut Ota.
Kiria menoleh pada Taras.
"Tidak. Aku tidak haus," sahut Taras.
Setelah melemparkan pesanan teman-temannya, Kiria duduk di samping Luna, membelakangi pak supir yang sedang menyetir di depan dengan dibatasi bentangan kaca.
"Enaknya naik mobil semewah ini!" hela Kiria sambil menyedot minuman stroberi-nya sambil memandang ke luar. Semua basah kuyup oleh hujan. "Heran... Hujan sudah begini deras dari tengah hari tadi. Kok, tidak berhenti-henti ya?"
"Ah! Kita sampai!" seru Luna menunjuk ke luar jendela. Sebuah gedung pertunjukan mewah mulai tampak di kejauhan. Mobil Taras berbelok dan mengantre masuk ke dalam tempat parkir.
"Untung tempat parkirnya terletak di dalam gedung. Kalau tidak,
bisa-bisa kita basah," kata Kiria sambil menyisir rambutnya dengan jemari tangan.
"Kita langsung ke tempat parkir saja, Pak," pinta Taras ketika mobilnya hendak menuju lobi yang ternyata penuh mobil lain.
Gedung parkir sudah mulai penuh. Setelah berputar-putar beberapa kali, akhirnya mereka mendapatkan tempat parkir.
"Masih setengah jam lagi," Taras melirik jam tangan mahalnya.
"Dimana Tabitha?" tanya Luna. "Kita kan harus memberi ucapan selamat berjuang."
Baru saja Taras mau membuka mulut untuk menjawab...
"Taras!" terdengar seruan panggilan.
Taras menoleh. "Hei, Samantha. Mana Tabitha? Teman-temanku mau mengucapkan selamat berjuang," ia menyapa gadis yang sedikit lebih tua darinya itu. Tapi Samantha balas menatap Taras dengan cemas tak karuan.
"Gawat, Taras! Kakakku sepertinya tidak jadi tampil hari ini."
Taras mengangkat alisnya dengan heran.
"Kau tahu, alat-alat musik yang akan dipakai hari ini disimpan dalam gedung ini sejak semalam. Tapi ternyata tadi siang ketika kami datang, biola Kak Tabitha hilang tak berbekas!" cerita Samantha cepat.
Geng LOTRIA terbelalak kaget.
"Dimana Tabitha sekarang?" tanya Taras.
"Di belakang panggung. Yuk! Kita ke sana," ajak Samantha.
***
Ketika Geng LOTRIA dan Samantha tiba di sebuah ruang rias lebar, seorang gadis remaja berkacamata yang sedikit mirip Taras sedang duduk menangis.
"Kemarin malam masih ada di lemari," isaknya sedih. "Padahal aku sudah berlatih setengah mati. Masa aku tak bisa tampil hari ini?"
"Aku tahu!" seorang gadis remaja berambut pendek sepertinya punya usul. "Pinjam saja biola milik Nita. Dia kan juga akan tampil dengan biola hari ini."
Tabitha menatap gadis itu sejenak. Berpikir, usul itu masuk akal juga. Sebab tidak ada peserta lain yang memainkan biola selain mereka berdua.
"Nita tak kelihatan dari tadi," lapor seorang pemuda. "Sepertinya dia belum datang."
Saat itulah pintu terbuka. Seorang gadis berambut panjang bergelombang melangkah masuk.
"Wuaaah... Hampir saja aku terlambat!" serunya dramatis.
"Nah itu Nita!" seru pemuda tadi.
Gadis bernama Nita itu menatap mereka. Raut wajahnya menunjukkan keheranan ketika melihat mata Tabitha yang masih basah oleh air mata.
"Ada yang mengambil biola Tabitha. Dia tak bisa tampil kalau tak punya biola. Bagaimana kalau kau pinjamkan biolamu? Toh, kita tampil bergiliran," tanya si gadis berambut pendek.
Nita merenung sebentar, kemudian menggeleng tegas. "Tidak bisa!"
Semua tampak terkejut.
"Kamu sendiri yang ceroboh. Kenapa aku harus menolongmu? Ini kan perlombaan. Kamu adalah sainganku. Kenapa aku harus membantu sainganku?"
"Iiih... Pelit sekali...," bisik Luna kesal.
"Pasti dia takut kalah!" tambah Kiria nyinyir.
Wajah Tabitha makin pucat. Jelas dia kecewa karena harapan terakhirnya pupus.
"Aku punya usul!" tiba-tiba Taras mengangkat suara.
Semua menoleh ke Taras dengan terkejut, karena tampaknya tak ada yang memperhatikan kehadiran Geng LOTRIA sedari tadi.
"Kita lacak saja siapa yang mencuri biola Tabitha," tambah Taras sedikit gugup karena ditatap semacam itu.
Si gadis berambut pendek berkata meremehkan, "Kamu pikir sedari tadi kami ngapain? Tabitha adalah peserta pertama yang datang. Ketika ia datang, biola itu sudah tidak ada."
Luna mengerutkan keningnya heran. "Jam berapa Tabitha datang tadi?"
"Jam setengah satu siang," sahut Tabitha tanpa harapan.
Geng LOTRIA semua terdiam dan sibuk berpikir.
"Aku tahu, Kak!" Ota menarik Taras dan berbisik.
"Mungkin ada yang datang diam-diam sebelum Kak Tabitha datang dan mengambilnya!"
Taras mengangguk-angguk. Ucapan Ota cukup masuk akal. Tapi... Bagaimana cara membuktikannya?
"Ah, kayaknya tak ada gunanya dipikirkan," gumam Samantha. "Begini saja, aku akan pergi ke toko alat musik sekarang juga. Aku akan beli biola baru."
Tabitha melirik jam tangannya. "Lima belas menit lagi pertunjukkan mulai. Aku giliran nomor tiga. Mana mungkin keburu," bisiknya sedih.
Samantha menatap kakaknya dengan iba. "Aku akan berusaha secepatnya, Kak."
"Kami ikut!" seru Kiria bersemangat.
Tanpa membuang-buang waktu, Geng LOTRIA dan Samantha berlari ke tempat parkir. Untung mobil Samantha dan Tabitha terparkir di lokasi khusus yang sangat dekat pintu keluar, yaitu tempat parkir khusus peserta.
"Pak! Ayo, kita pergi!" Samantha memanggil-manggil supirnya yang sedang duduk menonton televisi di ruang tunggu supir.
Kiria menatap ke segala arah. Pandangannya menyapu mobil-mobil yang berderet rapi. Tiba-tiba ia tertegun.
"Yuk!" Luna menarik Kiria.
"Tunggu!" seru Kiria. Geng LOTRIA dan Samantha menoleh menatap Kiria.
"Apa?" tanya Samantha tak sabar.
"Tak perlu membeli biola! Aku rasa, aku tahu siapa pencurinya."
Semua terkejut. Menatap gadis bermata sipit itu dengan heran, kemudian menoleh ke arah yang ditatap Kiria. Luna mengangguk-angguk mengerti. Dengan gesit ia menghampiri sebuah mobil warna merah dan melongok ke jok belakang.
"Benar! Ada di dalam sini!" lapornya.
Taras, Ota, dan Samantha ikut menghampiri mobil itu. Mereka segera terbelalak menatap kotak biola Tabitha yang menyembul di bawah kolong kursi.
"Kakak tahu mobil siapa ini?" tanya Ota pada Samantha.
"Ya. Itu mobil Nita," sahut Samantha.
"Licik sekali! Dia pura-pura datang terlambat, padahal dia datang paling pertama!" geram Taras.
"Masih ada lima menit," Luna melirik jam tangannya.
"Yuk! Kita beritahukan ke Tabitha."
"Bagaimana kalian bisa mencurigai mobil ini? Kan, ada banyak sekali mobil?" Samantha bertanya kagum dan heran.
Kiria menyahut. "Tadi kamu dan Tabitha datang jam setengah satu kan?"
Samantha mengangguk.
"Dan peserta lain datang setelahnya?"
Samantha mengangguk lagi.
"Nah! Aku ingat tadi hujan turun mulai tengah hari. Oleh karena itu, lihatlah!" ia menunjuk ke mobil-mobil lain, "Semua mobil basah oleh titik-titik hujan. Tapi, coba lihat mobil Nita! Mobil yang satu ini kering sama sekali! Berarti, ia sudah datang sebelum kalian dan menjadi satu-satunya orang yang punya kesempatan untuk mengambil biola Tabitha," jelas Kiria lincah.
"Hebat!" puji Samantha kagum bukan main.
"Tiga menit lagi!" seru Ota mengingatkan.
Dengan terburu-buru dan dengan hati lega, Geng LOTRIA dan Samantha segera berlari masuk ke belakang panggung. Mereka harus melaporkan peristiwa itu ke keamanan dan dewan juri perlombaan.
(Cerita : Alexandra L.Y / Dok. Majalah Bobo)
Tomat-Tomat yang Sudah Dibeli Bobo dan Coreng Hilang! Simak Keseruannya di KiGaBo Episode 7
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR